Tinkerbell Orange Glitter Wings

Jumat, 19 April 2013

STUDI FENOMENOLOGI : PENDEKATAN PERAWAT DALAM MENGATASI KECEMASAN DAN KETAKUTAN PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH AKIBAT HOSPITALISASI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG

Rufaidah1, Wahyu Rima Agustin2
1,2Prodi S-1 Keperawatan, STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat
dirumah sakit. Kondisi tersebut merupakan stressor bagi anak, yang dapat
menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada anak dimana akan mempengaruhi
perkembangan anak. Peran perawat disini sangat penting dalam meminimalkan
dampak dari hospitalisasi, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan untuk dapat
memahami kebutuhan klien agar anak dapat berkembang kearah yang normal.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pendekatan perawat dalam
mengatasi kecemasan dan ketakutan pada anak usia pra sekolah akibat hospitalisasi
di Ruang Anak Parikesit Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang, dengan
mengambil sampel sebanyak 3 responden. Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, data diperoleh dengan indepth
interview (wawancara mendalam) dan direkam dengan menggunakan tape
recoder atas persetujuan reponden. Data-data yang sudah diperoleh kemudian di
klasifikasikan dengan cara koding dan kategorising. Dari penelitian ini di dapatkan
hasil bahwa pendekatan perawat dalam mengatasi kecemasan dan ketakutan pada
anak usia pra sekolah adalah terfokus pada tiga pendekatan yaitu pendekatan pada
anak, orang tua dan pendekatan dalam memodifikasi lingkungan. Kurangnya
pendekatan pada anak dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi
anak, kurangnya meminimalkan perpisahan dengan orang tua, sibling dan teman
serta perlukaan akibat prosedur medik atau keperawatan yang menyakitkan, dapat
menyebabkan kecemasan dan ketakutan pada anak yang mengalami hospitalisasi.
Keterbatasan tenaga perawat, sarana dan pra sarana, kurangnya waktu untuk
mengadakan pendekatan karena beban kerja yang banyak merupakan kendala dalam
mengadakan pendekatan pada anak untuk meminimalkan dampak dari hospitalisasi.
Kata kunci : Pendekatan, hospitalisasi, kecemasan dan ketakutan.
PENDAHULUAN
Dewasa ini anak-anak banyak dihadapkan dengan masalah stress. Stress
tersebut muncul diakibatkan oleh adanya suatu perubahan sosial, sehingga
memungkinkan mereka untuk sering berhadapan dengan orang lain. Demikian juga
ketika anak sedang sakit dan dirawat dirumah sakit, anak akan mengalami masalah
kecemasan dan ketakutan akibat hospitalisasi.
Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan
dirawat di Rumah Sakit. Keadaan krisis terjadi karena anak berusaha untuk
2
beradaptasi dengan lingkungan di Rumah Sakit, sehingga kondisi tersebut
merupakan stressor bagi anak baik terhadap anak sendiri maupun terhadap
keluarga.(1) Stressor pada anak disebabkan karena mereka tidak mengerti mengapa
mereka dirawat atau mengapa mereka sakit. Lingkungan yang asing, kebiasaankebiasaan
yang berbeda, perpisahan dengan keluarga menimbulkan perasaan cemas
dan takut baik pada anak maupun pada keluarga. Dengan timbulnya perasaan cemas
dan takut pada anak akan dapat memacu anak menggunakan mekanisme koping
dalam mengatasi stress dan akan mempengaruhi perkembangan anak.
Reaksi yang muncul akibat hospitalisasi berbeda pada setiap anak, dimana
salah satu perbedaan itu dipengaruhi oleh faktor usia, bahwa pemahaman tentang apa
yang terjadi terkait dengan perkembangan kognitif (emosional dan sosial) mereka.(2)
Dimana reaksi yang muncul pada anak usia pra sekolah akibat hospitalisasi adalah
bahwa anak usia pra sekolah sudah dapat menerima perpisahan dengan orang tuanya
dan sudah dapat membentuk rasa percaya dengan orang dewasa lain yang lebih
berarti. Walaupun demikian anak tetap membutuhkan perlindungan dari orang
tuanya. Akan tetapi dalam keadaan sakit, kondisi tersebut mengakibatkan anak harus
beradaptasi dengan lingkungan Rumah Sakit, sehingga akibat perpisahan akan
menimbulkan reaksi pada anak seperti : menolak makan, menangis, marah, sering
bertanya kapan orang tua saya berkunjung, tidak kooperatif terhadap aktivitas seharihari.
Kehilangan kontrol pada anak terjadi karena adanya pembatasan aktifitas
sehari-hari dan karena kehilangan kekuatan diri.(1)
Demikian juga respon hospitalisasi pada anak usia pra sekolah yang terjadi di
Ruang Anak Rumah Sakit Umum Kota Semarang dimana anak memunculkan respon
yang berbeda-beda terhadap perawat, anak merasa takut bila ada seorang perawat
yang datang menghampirinya tidak peduli apa yang akan perawat lakukan sekalipun
tidak akan menyakitinya. Mereka menganggap bahwa perawat akan melukainya
dengan membawa suntikan ataupun yang lainnya. Anak berusaha untuk menolak
perawat, tidak mau ditinggalkan oleh orang tuanya, memegang erat tangan orang
tuanya, anak minta pulang, menangis kuat-kuat, memukul perawat, meronta-ronta,
berlari dan lain-lain. Dimana anak menunjukkan adanya rasa takut saat melihat
perawat. Ada juga anak yang menunjukkan respon yang baik terhadap perawat
dimana mereka dapat menerima kehadiran perawat, mereka tahu bahwa perawat akan
3
berbuat baik dan tidak akan menyakiti mereka. Dari respon yang muncul tersebut
dapat diperoleh gambaran pengalaman masa lalu saat dirawat di Rumah Sakit
mempengaruhi respon yang terjadi pada anak saat anak kembali masuk ke Rumah
Sakit. Ketakutan dan kecemasan yang terjadi pada anak kadang terbawa juga oleh
anak sampai anak pulang dari rumah sakit, anak semacam mengalami trauma yang
dalam akibat dari hospitalisasi. Hospitalisasi tersebut dapat menimbulkan suatu
pengalaman yang tidak baik bagi anak, yang dapat mengakibatkan situasi krisis bagi
anak yang nantinya dapat mempengaruhi perkembangan anak. (Ny.U, 2003, personal
komunikasi)
Berdasarkan dari adanya fenomena yang terjadi di Rumah Sakit tersebut,
bahwa pendekatan perawat yang efektif dirasa penting dilakukan untuk
meminimalkan dampak dari hospitalisasi. Perawat perlu melakukan suatu pemecahan
masalah pada anak yang mengalami hospitalisasi, agar anak dapat berkembang
kearah yang normal.
Fenomena yang terjadi itu menimbulkan pertanyaan dan masalah-masalah
dalam pikiran peneliti. Peneliti menginginkan ada suatu strategi pendekatan yang
efektif pada anak yang dilakukan oleh perawat di Ruang Anak Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Semarang, untuk dapat mengatasi kecemasan dan ketakutan pada anak
usia prasekolah akibat hospitalisasi.
Berdasarkan fenomena tersebut, penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang
“Bagaimana Pendekatan Perawat Dalam Mengatasi Kecemasan dan Ketakutan Pada
Anak Usia Pra Sekolah Akibat Hospitalisasi di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Semarang“.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Penelitian kualitatif digunakan untuk menggali persepsi, ide atau
gagasan dan pikiran tentang topik (permasalahan) atau issue yang sedang
berkembang dan menarik dari sekelompok orang dengan latar belakang, karakteristik
dan pengalaman yang sama, data dari suatu peristiwa, permasalahan yang dialami
atau realitas sosial untuk dirumuskan kedalam suatu teori atau konsep, penulis akan
memperoleh gambaran tentang persepsi atau sikap dari sampel yang akan
4
diteliti.(12,13) Pada penelitian ini penulis menggali tentang pendekatan yang dilakukan
perawat dalam mengatasi kecemasan dan ketakutan pada anak usia pra sekolah
akibat hospitalisasi.
Pada penelitian ini sampel diambil dari sebagian perawat yang bekerja di
Ruang Anak Rumah Sakit Umum Kota Semarang. Metode sampling yang digunakan
adalah “Purposive atau Judgement Sampling“. Sampel dipilih secara tidak acak
melainkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dibuat oleh
peneliti yaitu berdasarkan tingkat pendidikan, pengalaman bekerja dan bersedia
menjadi responden.(12,14)Dalam penelitian ini diambil 3 sampel sebagai responden
dengan kriteria :
a. Pendidikan minimal D3 keperawatan
b. Pengalaman bekerja di Ruang Anak Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
minimal 5 tahun.
c. Bersedia menjadi responden.
Dengan kriteria tersebut diharapkan telah mampu menerapkan Asuhan Keperawatan
secara profesional dan banyak pengalaman yang didapatkan selama bekerja.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Pendekatan Perawat
a. Pendekatan Kepada Anak
1. Pendekatan perawat dalam mengatasi kecemasan dan ketakutan pada
anak akibat anak berada di lingkungan yang asing.
Perawat menyebutkan untuk meminimalkan reaksi hospitalisasi pada
anak akibat anak berada di lingkungan yang asing yaitu dengan cara
memberikan penjelasan pada anak dengan menggunakan bahasa dan katakata
yang sederhana, memberikan penjelasan pada anak tentang alasan
mengapa anak dirawat di rumah sakit, menjelaskan pada anak tentang
manfaat dirawat dirumah sakit, menjelaskan pada anak bahwa rumah sakit itu
tidak menakutkan atau menyeramkan dan bercerita dengan anak untuk
menggunakan fasilitas mainan seperti boneka agar anak mudah mengerti.
Pernyataan perawat tentang pendekatan perawat kepada anak yang
mengalami kecemasan dan ketakutan akibat anak berada di lingkungan yang
5
asing tersebut, sesuai dengan pernyataan menurut waley and wong, bahwa
apa yang seharusnya dilakukan oleh perawat khususnya pada anak untuk
meminimalkan dampak dari hospitalisasi adalah menjelaskan pada anak
mengapa mereka harus dirawat / tinggal di rumah sakit. Dengan memberikan
penjelasan pada anak, maka anak akan mengerti mengapa mereka harus
dirawat dan tinggal di rumah sakit, selain itu juga perawat perlu menjelaskan
manfaat dari anak rawat tinggal dirumah sakit dan perlunya menjelaskan
bahwa rumah sakit itu tidak menakutkan ataupun menyeramkan. Dengan
penjelasan tersebut maka akan dapat mengurangi kecemasan dan ketakutan
pada anak akibat hospitalisasi.(1)
2. Pendekatan perawat kepada anak dalam mengatasi kecemasan dan ketakutan
pada anak akibat anak mengalami perpisahan dengan orang tua, sibling dan
teman.
Perawat menyebutkan untuk meminimalkan reaksi hospitalisasi pada
anak akibat anak mengalami perpisahan adalah memberikan pengertian pada
anak mengapa orang tuanya pergi, kemana orang tuanya pergi, dan kapan
orang tuanya akan kembali, mendekati anak, menggendong anak, mengajak
anak jalan-jalan, melihat mainan dan gambar-gambar, mengajak anak
bercerita, mengajak bernyanyi, menenangkan anak disamping tempat tidur
dan menemani anak. Pernyataan perawat tentang pendekatan pada anak yang
mengalami kecemasan dan ketakutan akibat perpisahan, sesuai dengan
pernyataan menurut whaley and wong yaitu menyebutkan bahwa untuk
mengatasi atau meminimalkan dampak dari hospitallisasi adalah atur jadwal
kunjungan untuk memberikan kesempatan anak agar dapat berinteraksi
dengan teman atau kelompok bermain, kenali perilaku perpisahan sebagai
perilaku yang normal, berikan support melalui kehadiran fisik (orang tua dan
sibling), ajak anak untuk mengingat dan membicarakan tentang orang tua,
jelaskan pada anak ketika orang tua pergi dan kapan orang tua mereka akan
kembali, sertakan benda-benda kesayangan yang biasa dipakai dirumah
didalam kamar anak (mainan, boneka, dll)(1)
6
3. Pendekatan kepada anak yang mengalami kecemasan dan ketakutan akibat
anak mengalami perlukaan karena prosedur medik atau keperawatan yang
menyakitkan.
Perawat menyebutkan untuk meminimalkan reaksi hospitalisasi pada
anak akibat anak mengalami perlukaan adalah dengan memberikan
penjelasan pada anak tentang prosedur / tindakan yang akan dilakukan,
memberikan penjelasan pada anak tentang rasa sakit yang timbul akibat
tindakan tersebut. Pernyataan perawat tentang pendekatan pada anak yang
mengalami kecemasan dan ketakutan akibat perlukaan, sesuai dengan
pernyataan whaley and wong yang menyebutkan bahwa pendekatan yang
dilakukan adalah dengan memberikan penjelasan pada anak yang disesuaikan
dengan tahap perkembangannya secara singkat, sederhana dan lakukan sesaat
sebelum prosedur dikerjakan, memberikan fasilitas boneka atau mainan
kesayangan dapat digunakan untuk membantu dalam menjelaskan prosedur
yang akan dilakukan, merpersiapkan anak untuk menghadapi prosedur sesuai
dengan tingkat pemahaman, menjawab setiap pertanyaan dan jelaskan tujuan
dari setiap tindakan yang dilakukan, memberikan pelukan dan sentuhan rasa
nyaman diperlukan setelah prosedur yang menyakitkan, membatasi
penggunaan restrain gunakan bila perlu, menghargai kebutuhan anak akan
privasi.(1)
Whaley and Wong juga menyebutkan bahwa persiapan anak terhadap
prosedur yang menimbulkan rasa nyeri adalah penting untuk mengurangi
ketakutan. Perawat dapat menjelaskan apa yang akan dilakukan, siapa yang
dapat ditemui oleh anak jika dia merasa takut dsb.(1)
b. Pendekatan Kepada Orang Tua
1. Pendekatan perawat kepada orang tua dalam mengatasi kecemasan dan
ketakutan pada anak akibat anak berada di lingkungan yang asing.
Perawat menyebutkan untuk meminimalkan reaksi hospitalisasi yang
timbul pada anak, pendekatan yang dilakukan perawat kepada orang tua
adalah dengan melibatkan orang tua untuk menjelaskan pada anak alasan
harus menjalani perawatan di rumah sakit, menganjurkan pada orang tua
untuk mengajak anak berkeliling melihat lingkungan sekitar rumah sakit,
7
memberikan suasana yang baik dengan keluarga agar orang tua mengerti
mengapa anak harus dirawat dirumah sakit. Pernyataan perawat tentang
pendekatan pada anak yang mengalami kecemasan dan ketakutan, akibat
berada di lingkungan yang asing, sesuai dengan pernyataan whaley and wong
yang menyebutkan bahwa perawat harus dapat menciptakan suasana yang
hangat yang dapat diterima baik oleh anak maupun orang tua. Dengan
menciptakan suasana yang hangat dengan anak dan orang tua maka
terciptalah rasa percaya yang tertanam dalam diri anak dan orang tua
sehingga akan bermanfaat bagi anak bahwa anak akan dapat menerima
mengapa mereka harus dirawat di rumah sakit. Whaley and wong juga
menyebutkan perawat dapat mendiskusikan dengan keluarga tantang
kebutuhan anak, membantu orang tua dalam mengidentifikasi alasan spesifik
dari perasaan dan responnya terhadap stress, memberikan kesempatan pada
orang tua untuk mengurangi beban emosinya. Memberikan informasi salah
satu intervensi keperawatan yang penting adalah sehubungan dengan
penyakit, pengobatan serta prognosa, reaksi emosional anak terhadap sakit
dan dirawat, sertareaksi emosional anggota keluarga terhadap anak yang sakit
dan dirawat.(1)
2. Pendekatan perawat kepada orang tua dalam mengatasi kecemasan dan
ketakutan pada anak karena anak mengalami perpisahan dengan orang tua,
sibling dan teman.
Perawat menyebutkan untuk meminimalkan reaksi hospitalisasi yang
timbul pada anak, pendekatan yang dilakukan perawat kepada orang tua
adalah menganjurkan pada orang tua untuk tidak meninggalkan anak dalam
keadaan sendiri, menganjurkan pada orang tua untuk menitipkan pada
perawat apabila akan ditinggal, menganjurkan orang tua untuk bergantian
dalam menunggu anak yang sakit seperti melibatkan saudara, teman atau
yang lainnya, agar anak tidak merasa bosan, membantu orang tuanya
mengambilkan obat. Pernyataan perawat tentang pendekatan pada anak yang
mengalami kecemasan dan ketakutan, akibat perpisahan dengan orang tua,
sibling dan teman, sesuai dengan pernyataan whaley and wong yang
menyebutkan bahwa untuk mengatasi atau meminimalkan dampak dari
8
hospitallisasi adalah libatkan orang tua untuk senantiasa menemani anak,
kenali perilaku perpisahan sebagai perilaku yang normal, pertahankan kontak
anak dengan orang tua dan sibling, bantu orang tua untuk memahami
perilaku cemas akibat perpisahan dan sarankan juga untuk memberikan
support pada anak.(1)
3. Pendekatan perawat kepada orang tua dalam mengatasi kecemasan dan
ketakutan pada anak akibat anak mengalami perlukaan karena prosedur
medik atau keperawatan yang menyakitkan.
Perawat menyebutkan untuk meminimalkan reaksi hospitalisasi yang
timbul pada anak, pendekatan yang dilakukan perawat kepada orang tua
adalah memberikan penjelasan pada orang tua mengenai prosedur yang akan
dilakukan, melibatkan orang tua untuk membantu memegangi anak apabila
anak menolak dilakukan tindakan, melibatkan orang tua untuk menemani
anak ditempat tidur, memberikan orang tua penyuluhan apabila orang tua
belum jelas tentang prosedur yang akan dilakukan. Pernyataan perawat
tentang pendekatan pada anak yang mengalami kecemasan dan ketakutan,
akibat mengalami perlukaan, sesuai dengan pernyataan menurut whaley and
wong yang menyebutkan bahwa pendekatan yang dilakukan adalah dengan
melibatkan orang tua dan biarkan hadir sebelum dilakukan prosedur. Pada
tindakan/prosedur yang menimbulkan nyeri keluarga / orang tua dipersiapkan
untuk membantu, mengobservasi atau menunggu di luar ruangan.
c. Pendekatan dalam Memodifikasi Lingkungan
1. Pendekatan perawat dalam memodifikasi lingkungan untuk mengatasi
kecemasan dan ketakutan pada anak akibat anak berada di lingkungan yang
asing.
Perawat menyebutkan untuk meminimalkan reaksi hospitalisasi yang
timbul pada anak, pendekatan yang dilakukan perawat adalah
mengorientasikan anak dengan lingkungan di sekitar rumah sakit,
memperkenalkan anak dengan pasien yang lain, memperkenalkan anak
dengan teman satu kamar, memberikan mainan atau barang-barang kesukaan
anak dan menggunakan pakaian yang tidak menakutkan bagi anak khususnya
9
untuk perawat, pakaian yang tidak selalu putih dan menggunakan motif
bergambar. Pernyataan perawat tentang pendekatan pada anak yang
mengalami kecemasan dan ketakutan, akibat berada di lingkungan yang
asing sesuai dengan pernyataan menurut whaley and wong yang
menyebutkan bahwa untuk meminimalkan dampak dari hospitalisasi
sebaiknya ruang perawatan anak berbeda dengan ruang perawatan pada orang
dewasa, karena mengingat anak dalam keadaan tumbuh dan berkembang
dengan sifat yang khusus, khas dan dinamis, maka tempat perawatan anak
harus dibedakan dengan tempat perawatan orang dewasa. Dimana sebisa
mungkin ruang perawatan anak didesain seperti suasana dirumah, sehingga
anak tidak merasa asing dengan keadaan di Rumah Sakit. Mengusahakan
lingkungan perawatan dalam keadaan bersih dan terang, suhu ruangan dalam
keadaan stabil, aman, lantai kering, mainan tertata rapi dalam rak, pintu-pintu
harus mempunyai pegangan yang tinggi, jendela-jendela mempunyai kunci
dan terdapat ventilasi. Tempat tidur, lemari, meja dan kursi semuanya harus
dalam aturan kerja yang benar. Lingkungan perawatan dibuat suasana yang
gembira bagi anak dengan dekorasi yang menarik, misalnya dengan
menempelkan gambar-gambar seperti; gambar binatang, boneka, bunga,
mobil-mobilan, kartun, buah-buahan dan lain-lain pada dinding sesuai
dengan selera anak. Tersedianya ruang dan fasilitas bermain supaya anak
merasa seperti dirumah sendiri.(11)
Ruang perawatan anak dibuat seperti situasi dirumah dengan
mendekorasi dinding memakai poster / gambar-gambar yang sesuai dengan
selera anak, dinding tidak selalu dicat putih, alat-alat tenun juga tidak selalu
berwarna putih sehingga anak tidak merasa bosan dan akan merasa nyaman
didalam ruangan tersebut.(1)
2. Pendekatan perawat dalam memodifikasi lingkungan untuk mengatasi
kecemasan dan ketakutan pada anak akibat anak mengalami perpisahan
dengan orang tua, sibling dan teman.
Perawat menyebutkan untuk meminimalkan reaksi hospitalisasi yang
timbul pada anak, pendekatan yang dilakukan perawat adalah memberikan
mainan atau barang-barang kesukaan anak, menyediakan ruang tunggu untuk
10
saudara dan teman-teman, menyediakan ruang khusus untuk bermain.
Pernyataan perawat tentang pendekatan pada anak yang mengalami
kecemasan dan ketakutan, akibat anak mengalami perpisahan dengan orang
tua, sibling dan teman, sesuai dengan pernyataan menurut whaley and wong
yang menyebutkan bahwa untuk Mencegah / meminimalkan dampak dari
perpisahan adalah dengan Rooming In, yaitu orang tua dan anak tinggal
bersama. Dimana orang tua menimang, menunjukkan rasa kasih sayang,
menunggu dan mendampingi anak. Jika tidak bisa, sebaiknya orang tua dapat
melihat anak setiap saat untuk mempertahankan kontak / komunikasi antara
orang tua dan anak. Partisipasi orang tua dalam perawatan anak. Orang tua
diharapkan dapat berpartisipasi dalam merawat anak yang sakit terutama
dalam perawatan yang bisa dilakukan misal : memberikan kesempatan
kepada orang tua untuk menyiapkan makanan pada anak atau
memandikannya. Perawat berperan sebagai health educator terhadap
keluarga. Membantu anak untuk mempertahankan kontak dengan kelompok
dan teman-teman sekolah melalui kunjungan. (1)
Memberi kesempatan pada anak untuk sosialisasi, jika anak yang
dirawat dalam suatu ruangan usianya sebaya maka akan membantu anak
untuk belajar tentang diri mereka. Bersosialisasi antar mereka juga dapat
dilakukan dengan tim kesehatan, selain itu orang tua juga memperoleh
kelompok sosial baru dengan orang tua anak yang mempunyai masalah yang
sama. Keterlibatan sibling sangat penting untuk mengurangi stress pada anak.
Misalnya keterlibatan dalam program RS. (program bermain), mengunjungi
saudaranya yang sedang sakit secara teratur dan sebagainya. ( (1)
3. Pendekatan perawat dalam memodifikasi lingkungan untuk mengatasi
kecemasan dan ketakutan pada anak akibat anak mengalami perlukaan karena
prosedur medik atau keperawatan yang menyakitkan.
Perawat menyebutkan untuk meminimalkan reaksi hospitalisasi yang
timbul pada anak, pendekatan yang dilakukan perawat adalah menyiapkan
alat-alat sebelum melakukan prosedur / tindakan, mengatur lingkungan
tertutup agar anak merasa nyaman, menggunakan fasilitas dengan mainan
untuk menjelaskan pada anak agar anak tahu dan tidak merasa takut,
11
modifikasi alat-alat dengan pernak-pernik yang menarik, dengan hiasan yang
menarik untuk anak, memberikan hadiah apabila anak patuh pada perawat.
Pernyataan perawat tentang pendekatan pada anak yang mengalami
kecemasan dan ketakutan, akibat mengalami perlukaan karena prosedur
medik atau keperawatan yang menyakitkan, sesuai dengan pernyataan
menurut whaley and wong yang menyebutkan bahwa memanipulasi prosedur
juga dapat mengurangi ketakutan akibat perlukaan tubuh. Misal : jika anak
takut diukur temperaturnya melalui anus maka dapat melalui ketiak / axillia.
Pada beberapa kasus pasien yang di isolasi misal; pada pasien luka bakar
berat, penyakit kronis, sebaiknya lingkungan dapat dimanipulasi untuk
meningkatkan kebebasan sensori misal; dengan menempatkan tempat tidur
di dekat pintu atau jendela, memberi musik dsb.(1)
KESIMPULAN
Dari penelitian ini di dapatkan hasil bahwa pendekatan perawat dalam mengatasi
kecemasan dan ketakutan pada anak usia pra sekolah adalah terfokus pada tiga
pendekatan yaitu pendekatan pada anak, orang tua dan pendekatan dalam
memodifikasi lingkungan. Kurangnya pendekatan pada anak dalam menciptakan
lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak, kurangnya meminimalkan perpisahan
dengan orang tua, sibling dan teman serta perlukaan akibat prosedur medik atau
keperawatan yang menyakitkan, dapat menyebabkan kecemasan dan ketakutan pada
anak yang mengalami hospitalisasi. Keterbatasan tenaga perawat, sarana dan pra
sarana, kurangnya waktu untuk mengadakan pendekatan karena beban kerja yang
banyak merupakan kendala dalam mengadakan pendekatan pada anak untuk
meminimalkan dampak dari hospitalisasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Whaley and Wong. 4th Ed, Nursing Care of Infant and Children. Dalas Texas :
1991.
2. Smet, Bart. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo Gramedia Widiasarana
Indonesia; 1994.
3. Sr. Antonilla. Laporan Hasil Penelitian, Pengetahuan Perawat Terhadap Respon
Hospitalisasi Pada Anak Usia Pra Sekolah Di Ruang Anak Rumah Sakit Brayat
12
Minulya Surakarta. Semarang : Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro, 2003. Unpublised.
4. Singgih D. Gunarsa. Psikologi Perawatan. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia;
1995.
5. Sacharin, Rosa M. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Edisi 2, alih bahasa, R.F.
Maulany, Editor, Ni Luh Gede Yasmin Asih, Jakarta : EGC; 1996.
6. Universitas Indonesia, Pelatihan Keperawatan anak, Jakarta; 1994.
7. Suryanah. Keperawatan Anak Untuk Siswa SPK. Jakarta : EGC; 1996.
8. Keller, Leslie R.N. Pediatric Nursing. Mc. Graw Hill International E.d, 1993.
9. Schulte, Elizabeth. Price, Debra. Pediatric Nursing an Introductory Text, Eigth
Edition, Philadelphia London New York St. Louis Sidney Toronto: W.B
Saunders Company; 2000.
10. Pearce, John. Mengatasi Kecemaan dan Ketakutan Anak Alih Bahasa Liliana
Wijaya, Jakarta : Penerbit Arcan; 2000.
11. Lewer, Hellen. Belajar Merawat Di Bangsal Anak. Alih bahasa Enie Noviestari,
Maria A. Wijaya Rini; Editor, Ni Luh Gede Yasmin Asih, Jakarta : EGC, 1996.
12. Brockopp, Dorothy Young, Dasar-dasar Riset Keperawatan. Marie T. Hastings-
Tolsma, Alih bahasa Yasmin Asih, Aniek Maryunani, Jakarta : EGC; 1999.
13. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya; 2002.
14. Nursalam, Siti Pariani. Metodologi Riset Keperawatan. Cetakan Pertama, Jakarta
: CV. Sagung Seto; 2001.
15. Nursalam. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan :
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Edisi Pertama,
Jakarta : Salemba Medika; 2003.
16. Burhan Bungin. Metodologi Penelitian Kualitatif . Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada; 2003.
17. Morse, Janice. M, Field Peggy.A. Nursing Research : The Application Of
Qualitative Approaches. London : Chapman & Hall; 1996.
18. Burhan Bungin. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada; 2003
13

PERBEDAAN PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN CERAMAH DAN LEAFLET TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP DALAM RANGKA PENCEGAHAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS/ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME (HIV/AIDS) PADA SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 4 SURAKARTA


Hardiningsih1
1Prodi D-III Kebidanan, STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Kasus HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penularan
AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20-29 tahun yaitu sebanyak 45,9%
dari 28.041 kasus AIDS sampai dengan bulan September 2011. HIV akan
berkembang menjadi AIDS antara 5-10 tahun, artinya HIV sudah menulari kaum
muda 5-10 tahun sebelum usia 20-29 tahun atau pada usia yang sangat muda. Hal
ini menunjukkan bahwa remaja sangat rentan terhadap penularan HIV/AIDS.
Ketidaktahuan mengenai bagaimana HIV ditularkan dan bagaimana cara
menghindari infeksi menyebabkan remaja rentan untuk terinfeksi HIV/ AIDS.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan pendidikan kesehatan dengan
ceramah dan leaflet terhadap pengetahuan tentang HIV/AIDS serta untuk
menganalisis perbedaan pendidikan kesehatan dengan ceramah dan leaflet terhadap
sikap dalam rangka pencegahan HIV/AIDS. Penelitian ini merupakan jenis
penelitian eksperimen semu, dengan rancangan pre test-post test group design.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 4 Surakarta yang
berjumlah 204 siswa(6 kelas). Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik cluster
random sampling sehingga diperoleh 2 kelas yang kemudian digunakan sebagai
kelompok ceramah dan kelompok leaflet. Cara pengumpulan data dengan metode
kuesioner. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji beda (Independent ttest).
Hasil dari penelitian ini dengan uji beda (Independent t-test) adalah ada
perbedaan rerata skor pengetahuan dan sikap yang signifikan antara kelompok
ceramah dan kelompok leaflet. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa pendidikan kesehatan dengan leaflet lebih baik daripada dengan ceramah
terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap dalam rangka pencegahan HIV/AIDS.
Kata kunci : pendidikan kesehatan, pengetahuan, sikap
ABSTRACT
Cases of HIV/AIDS in Indonesia is increasing from year to year. Transmission of
AIDS were reported in the age group 20-29 years which is about 45.9% of 28 041
AIDS cases until September 2011. HIV will develop AIDS between 5-10 years, which
means that HIV has infected young people 5-10 years before the age of 20-29 years
or at a very young age. This suggests that adolescents are particularly vulnerable to
HIV/AIDS. Ignorance about how HIV is transmitted and how to avoid infection
causes adolescents vulnerable to HIV/AIDS. This study aims to analyze the
differences in health education with lecture and leaflets on knowledge about
HIV/AIDS as well as to analyze the differences in health education with lecture and
leaflet on attitudes in the prevention of HIV/AIDS. This study is a kind of quasi2
experimental studies, the design of pre test-post test group design. The population in
this study is a class XI student SMAN 4 Surakarta, amounting to 204 students (sixth
grade). Sampling was conducted by random cluster sampling technique to obtain two
classes are then used as group lectures and leaflets groups. Ways of collecting data
by questionnaire method. The results were analyzed by using a different test
(Independent t-test). The results of this study with a different test (Independent t-test)
are there differences in mean scores of knowledge and attitudes of significant
between group lectures and leaflets groups. Based on the research results can be
concluded that health education leaflets better than a lecture on improving
knowledge and attitudes in the context of HIV/AIDS prevention.
Keywords: health education, knowledge, attitude
PENDAHULUAN
HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan
perhatian yang sangat serius (KPA, 2009). Kasus HIV/AIDS di Indonesia semakin
meningkat dari tahun ke tahun sejak ditemukan kasus pertama HIV di Bali pada
tahun 1987 (BKKBN, 2008). Jumlah kasus baru AIDS tahun 2011 (Januari sampai
dengan September 2011) adalah sebanyak 1.805 kasus dan secara kumulatif kasus
AIDS dari April 1987-September 2011 adalah sejumlah 28.041 kasus (Ditjen PP dan
PL Kemenkes RI, 2011).
Penularan AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20-29 tahun yaitu
sebanyak 45,9% dari total kasus AIDS sampai dengan bulan September 2011 (28.041
kasus). Jumlah tersebut diikuti kelompok usia 30-39 tahun sebanyak 31,1% dan
kelompok usia 40-49 tahun sebanyak 9,9% (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2011).
HIV akan berkembang menjadi AIDS antara 5-10 tahun, artinya HIV sudah menulari
kaum muda 5-10 tahun sebelum usia 20-29 tahun atau pada usia yang sangat muda.
Hal ini menunjukkan bahwa remaja sangat rentan terhadap penularan HIV dan AIDS
(BKKBN, 2008).
Ketidaktahuan mengenai bagaimana HIV ditularkan dan bagaimana cara
menghindari infeksi memperparah kerentanan remaja untuk terinfeksi HIV/AIDS.
Mengambil tindakan untuk meminimalisir ancaman HIV terhadap remaja merupakan
kewajiban moral dan sangat penting untuk menghentikan epidemi ini. Oleh karena
itu, untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai penyakit menular ini
perlu diberikan pendidikan kesehatan terutama pada usia remaja (15-24 tahun).
3
Tujuannya untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS khususnya di usia remaja
(UNICEF, 2010). Salah satu kegiatan pendidikan kesehatan adalah pemberian pesan
informasi atau pesan kesehatan untuk memberikan atau meningkatkan pengetahuan
dan sikap tentang kesehatan agar memudahkan terjadinya perilaku sehat, dan ada
beberapa jenis metodenya diantaranya yaitu melalui ceramah dan pemberian leaflet
(Notoatmodjo, 2007).
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian jenis eksperimen semu
(quasi experiment) dengan menggunakan rancangan pre test-post test group design
(Sugiyono, 2011). Dalam rancangan ini, membagi subjek dalam 2 kelompok (sebagai
kelompok ceramah dan kelompok leaflet). Tempat penelitian berada di SMA Negeri
4 Surakarta dan waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei-Desember 2011.
Populasinya adalah siswa kelas XI SMA Negeri 4 Surakarta sebanyak 204 siswa,
yang dibagi menjadi 6 kelas dan masing-masing kelas sebanyak 34 siswa. Teknik
sampling yang digunakan adalah cluster random sampling (Murti, 2010). Setelah
dilakukan teknik cluster random sampling diperoleh 2 kelas yang kemudian
digunakan sebagai kelompok ceramah dan kelompok leaflet. Dan 1 kelas digunakan
untuk ujicoba kuesioner (uji validitas dan reliabilitas). Variabel pada penelitian ini
adalah variabel bebas yaitu pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS dengan
ceramah dan pemberian leaflet dan variabel variabel terikat yaitu pengetahuan dan
sikap dalam rangka pencegahan HIV/AIDS.
Kuesioner untuk mengukur pengetahuan berbentuk pilihan ganda yaitu dalam
pertanyaan disediakan 4 pilihan jawaban dan responden diminta memilih satu
diantara jawaban tersebut. Sedangkan untuk mengukur sikap dalam rangka
pencegahan HIV/AIDS adalah dengan menggunakan kuesioner yang berbentuk skala
likert yaitu dalam pernyataan disediakan 5 pilihan jawaban (STS, TS, RR, S, SS).
Untuk uji validitas dan reliabilitas menggunakan rumus korelasi product moment dan
Cronbach’s Alpha.
Teknik pengumpulan datanya yaitu kuesioner disebarkan kepada responden
pada saat pre test dan post test untuk mendapatkan data pengetahuan dan sikap dalam
rangka pencegahan HIV/AIDS. Pre test dilakukan sebelum responden diberi
4
pendidikan kesehatan berupa ceramah dan pemberian leaflet, sedangkan post test
dilakukan setelah pemberian pendidikan kesehatan berupa ceramah dan pemberian
leaflet tentang HIV/AIDS. Sebelum dilakukan analisis, dilakukan uji normalitas data
dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan hasilnya semua data terdistribusi normal
sehingga analisis data menggunakan uji beda yaitu Independent t-test (Dahlan,
2011).
HASIL PENELITIAN
1. Pengetahuan responden tentang HIV/AIDS
Pengetahuan responden pada kelompok ceramah menunjukkan hasil bahwa
sebelum diberikan pendidikan kesehatan sebagian besar dikategorikan sedang
(76,5%) sedangkan setelah diberikan pendidikan kesehatan sebagian besar
dikategorikan baik (91,1%). Mean pengetahuan responden pada kelompok
ceramah yaitu mean pre test = 14,56 dan mean post test = 17,97, sedangkan mean
difference = 3,41 (lihat tabel 1).
Tabel 1 Mean Pengetahuan Responden Pada Kelompok Ceramah
Variabel Mean Mean Difference
Pre test pengetahuan 14,56 3,41
Post test pengetahuan 17,97
Sumber : Data Primer, 2011
Sedangkan pada kelompok leaflet menunjukkan hasil bahwa sebelum diberikan
leaflet sebagian besar dikategorikan sedang (85,3%) sedangkan setelah
pemberian leaflet semuanya dikategorikan baik (100%). Mean pengetahuan
responden pada kelompok leaflet yaitu mean pre test = 14,15 dan mean post test
= 18,91, sedangkan untuk mean difference = 4,76 (lihat tabel 2)
Tabel 2. Mean Pengetahuan Responden Pada Kelompok Leaflet
Variabel Mean Mean difference
Pre test pengetahuan 14,15 4,76
Post test pengetahuan 18,91
Sumber : Data Primer, 2011
5
2. Sikap responden dalam rangka pencegahan HIV/AIDS
Sikap responden pada kelompok ceramah menunjukkan hasil bahwa sikap
responden sebelum diberikan pendidikan kesehatan sebagian besar dikategorikan
baik (74%) sedangkan setelah diberikan pendidikan kesehatan semuanya
dikategorikan baik (100%). Mean sikap responden pada kelompok ceramah yaitu
mean pre test = 58,68 dan mean post test = 69,12, sedangkan untuk mean
difference = 10,44 (lihat tabel 3).
Tabel 3 Mean Sikap Responden Pada Kelompok Ceramah
Variabel Mean Mean Difference
Pre test sikap 58,68 10,44
Post test sikap 69,12
Sumber : Data Primer, 2011
Sedangkan pada kelompok leaflet menunjukkan hasil bahwa sikap responden
sebelum diberikan pendidikan kesehatan sebagian besar dikategorikan sedang
(67,7%) sedangkan setelah diberikan pendidikan kesehatan semuanya
dikategorikan baik (100%). Mean sikap responden pada kelompok leaflet yaitu
mean pre test = 57,71 dan mean post test = 70,74, sedangkan mean difference =
13,03 (lihat tabel 4).
Tabel 4. Mean Sikap Responden Kelompok Leaflet
Variabel Mean Mean Difference
Pre test sikap 57,71 13,03
Post test sikap 70,74
Sumber : Data Primer, 2011
UJI HIPOTESIS
a. Pendidikan kesehatan dengan leaflet lebih baik daripada dengan ceramah
terhadap peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS
Tabel 5. Perbedaan Pendidikan Kesehatan Dengan Ceramah dan Leaflet
Terhadap Pengetahuan Tentang HIV/AIDS
Variabel Mean Mean Difference p
Kelompok Ceramah 3,41 1,35 0,000
Kelompok Leaflet 4,76
Sumber : Data Primer, 2011
6
Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p < 0,05) artinya ada perbedaan
rerata skor pengetahuan yang signifikan antara kelompok ceramah dan
kelompok leaflet dimana skor pengetahuan pada kelompok leaflet lebih tinggi
daripada kelompok ceramah. Hal ini berarti bahwa H01 ditolak dan Ha1
diterima sehingga pendidikan kesehatan dengan leaflet lebih baik daripada
dengan ceramah dalam peningkatan peningkatan pengetahuan tentang
HIV/AIDS.
b. Pendidikan kesehatan dengan leaflet lebih baik daripada dengan ceramah
terhadap sikap dalam rangka pencegahan HIV/AIDS
Tabel 6. Perbedaan Pendidikan Kesehatan Dengan Ceramah dan Leaflet
Terhadap Sikap Dalam Rangka Pencegahan HIV/AIDS
Variabel Mean Mean Difference p
Kelompok Ceramah 10,44 2,59 0,004
Kelompok Leaflet 13,03
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai p = 0,004 (p < 0,05) artinya ada
perbedaan rerata skor sikap yang signifikan antara kelompok ceramah dan
kelompok leaflet dimana skor sikap pada kelompok leaflet lebih tinggi daripada
kelompok ceramah. Hal ini berarti bahwa H02 ditolak dan Ha2 diterima sehingga
pendidikan kesehatan dengan leaflet lebih baik daripada dengan ceramah dalam
peningkatan sikap.
PEMBAHASAN
Tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS ini
adalah meningkatkan pengetahuan para remaja tentang HIV/AIDS sehingga
diharapkan dapat menerapkan pengetahuan yang telah didapatkan tersebut dalam
perilaku hidup sehat, yaitu dengan memiliki sikap pencegahan terhadap penularan
HIV/AIDS dan menghindari perilaku yang dapat menyebabkan terinfeksi HIV/AIDS
(Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan seseorang dipengaruhi pendidikan. Orang yang
berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi
yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang akan mereka dapatkan
(Notoatmodjo, 2007). Responden dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA
yang dinilai mempunyai tingkat pendidikan yang cukup tinggi sehingga mampu
7
menerima informasi tentang HIV/AIDS yang diberikan melalui pendidikan
kesehatan. Pengetahuan seseorang juga dapat dipengaruhi oleh adanya paparan
media massa atau informasi (Notoatmodjo, 2007). Oleh karena itu, setelah responden
mampu menerima informasi berupa pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS maka
pengetahuan responden tentang HIV/AIDS meningkat.
Sikap dipengaruhi oleh paparan media massa atau informasi. Dengan
memberikan informasi tentang HIV/AIDS, maka didapatkan pengetahuan yang akan
mempengaruhi sikap seseorang, dalam hal ini adalah sikap dalam rangka
pencegahannya. Pengetahuan yang baik yang dimiliki seorang remaja tentang
HIV/AIDS maka remaja tersebut mengetahui lebih jauh segala sesuatu tentang
HIV/AIDS termasuk cara pencegahan agar tidak terinfeksi. Sehingga mereka
mempunyai sikap dalam pencegahannya. Setelah diberikan pendidikan kesehatan
tentang HIV/AIDS maka pengetahuan responden tentang HIV/AIDS meningkat
sehingga sikap dalam rangka pencegahan HIV/AIDS juga meningkat.
Dalam penelitian ini menggunakan metode pendidikan kesehatan berdasarkan
indera penerima yaitu metode melihat/memperhatikan yaitu dengan pemberian
leaflet dan metode mendengarkan yaitu dengan ceramah. Dengan pemberian leaflet
materi yang disampaikan dapat terserap 83% dan dapat diingat sebanyak 30% dan
melalui ceramah materi yang disampa
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pendidikan kesehatan dengan leaflet lebih baik daripada dengan ceramah
terhadap peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS.
2. Pendidikan kesehatan dengan leaflet lebih baik daripada dengan ceramah
terhadap peningkatan sikap dalam rangka pencegahan HIV/AIDS.
8
DAFTAR PUSTAKA
Anwar M, Syed A, Keivan A, Tahir M. 2010. Awareness of School Students on
Sexually Transmitted Infections (STIs) and Their Sexual Behavior: A Cross-
Sectional Study Conducted in Pulau Pinang, Malaysia. http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2824738/?tool=pubmed. (9 Desember 2011).
Azwar S. 2010. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar Offset.
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). 2006. Serba Serbi
HIV/AIDS. Jakarta : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). 2008. Handout
Presentasi Fasilitasi Untuk Topik HIV dan AIDS. Jakarta : Direktorat Remaja
dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi BKKBN.
CDC (CentersnfornDiseasenControl).a2011.aBasicaInformationaAboutaHIV and
AIDS. http://www.cdc.gov/hiv/topics/basic/#origin. (24 April 2011).
Dahlan S. 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba
Medika.
Dasuki. 2006. Perbandingan Penggunaan Ceramah dan Diskusi.
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=9&ved=0cfaqfjai&url=htt
p%3a%2f%2fidb4.wikispaces.com%2ffile%2fview%2fdv4013-perbandingan
%2bpenggunaan%2bmetode%2bceramah%2bdan%2bdiskusi.pdf&rct=j&q=k
euntungan%20metode%20ceramah&ei=pzd9ta7kj4sevaoumtifaw&usg=afqjcn
egyywhq651vimhbdlsjupklvgdgg&cad=rja. (9 Juni 2011).
Depkes RI (Departemen Kesehatan Republik Indonesia). 2008. Metode dan Media
Promosi Kesehatan. Jakarta : Pusat Promosi Kesehatan dan Pedoman
Pengelolaan Promosi Kesehatan Depkes RI.
Diknas (Pendidikan Nasional). 2011. Media Komunikasi dan Pembelajaran
Kelompok. http://media.diknas.go.id/media/document/3543.pdf. (24 April
2011).
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia). 2010.
Laporan Kasus HIV-AIDS di Indonesia Sampai Dengan September 2011.
http://www.aidsindonesia.or.id/laporan-triwulan-kementerian-kesehatan-ketiga
-2011.html. (8 Desember 2011).
Jahanfar S, Lye MS, Rampal L. 2009. A Randomised Controlled Trial of Peer-Adult-
Led Intervention on Improvement of Knowledge, Attitudes and
BehaviouraofaUniversityaStudentsaRegardingaHIV/AIDSainaMalaysia.http://
smj.sma.org.sg/5002/5002a9.pdf. (9 Desember 2011).
9
Jodati AR, Nourabadi GR, Hassanzadeh S, Dastgiri S, Sedaghat K. 2007. Impact of
Education in Promoting The Knowledge of and Attitude to HIV/AIDS
Prevention:Aatrialaona17,000aIranianaStudents. http://ijsa.rsmjournals. com/
cgi/content/abstract/18/6/407. (1 Juni 2011).
KPA (Komisi Penanggulangan AIDS). 2009. aSituasiaHIV/AIDSadiaIndonesia.
http://www.icaap9.org/uploads/200907281232220.OUTLINEAnalisis%
20Situasi%20HIV%20dan%20AIDS%20di%20Indonesia.pdf. (1
Januari 2011).
KPA (Komisi Penanggulangan AIDS). 2010a. Info HIV dan AIDS.
http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids. (1 Januari 2011).
_______.a2010b.aRemaja.ahttp://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids/area fokus
/remaja. (1 Januari 2011).
_______. 2010c. Penularan HIV/AIDS. http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hivaids
/penularan. (1 Januari 2011).
KPA Jateng (Komisi Penanggulangan AIDS Jawa Tengah). 2011. Kondisi HIV/
AIDS di Jawa Tengah 1993 s/d 31 September 2011. http://www.
aidsjateng.or.id/data/Data%20HIV%20dan%20AIDS%20Prov.%20Jateng%20
per%20Sept%202011.ppt. (8 Desember 2011).
Machfoedz I dan Suryani. 2008. Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi
Kesehatan. Yogyakarta: Fitramaya.
Medlineplus.a2011.aHIV/AIDS. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/hivaids.html.
(24 April 2011).
Murti B. 2010. Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif di Bidang Kesehatan, Edisi kedua. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
NagamatsuaM,aSatoaT,aNakagawaaA,aSaitoaH.a2011.AHIV Prevention Through
Extended Education Encompassing Students, Parents, and Teachers in Japan.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21431811. (1 Juni 2011).
Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Riwidikdo H. 2007. Statistik Kesehatan. Yogyakarta : Mitra Cendikia Press.
10
Roseann M, Hazem S, Joyce G, Sue L. 2006. The Effect of an HIV/AIDS Educational
Program on The Knowledge, Attitudes, and Behaviors of
DentalnProfessionals.http://www.jdentaled.org/content/70/8/857.full.pdf+htm
l. (10 Desember 2011).
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung :
Alfabeta.
UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund).
2010.aMemerangiaHIV/AIDS.ahttp://www.unicef.org/indonesia/id/hiv_aids_3
152.html. (1 januari 2011).

1 PEMERIKSAAN RHEUMATOID FAKTOR PADA PENDERITA TERSANGKA RHEUMATOID ARTHRITIS


Agnes Sri Harti1, Dyah Yuliana2
1,2Prodi S-1 Keperawatan, STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Rheumatoid Faktor (RF) adalah imunoglobulin yang bereaksi dengan molekul IgG.
Sebagaimana ditunjukkan namanya, RF terutama dipakai untuk mendiagnosa dan
memantau Rheumatoid Arthritis (RA). Semua penderita dengan RA menunjukkan antibodi
terhadap IgG yang disebut RF atau antiglobulin. RA sendiri merupakan suatu penyakit
sistemik kronis yang ditandai dengan peradangan ringan jaringan penyambung. Pada orang
dewasa RA adalah suatu poliartritis inflamatoris sismetris yang ditandai oleh proliferasi
sinovial, perusakan tulang dan tulang rawan. Manifestasi tersering penyakit ini adalah
terserangnya sendi yang umumnya menetap dan progresif. Awalnya yang terserang adalah
sendi kecil tangan dan kaki dan seringkali keadaan ini mengakibatkan deformitas sendi dan
gangguan fungsi disertai rasa nyeri. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui apakah serum
penderita tersangka RA yang diperiksa secara kualitatif memberikan hasil yang positif atau
negatif terhadap RF. Pemeriksaan RF secara aglutinasi latex dengan metode Randox RF
test. Ketika reagen dicampur dengan serum yang mengandung RF pada level yang lebih
besar dari 8,0 IU/ml maka partikel akan terjadi aglutinasi. Hal ini menunjukkan sampel
positif. Berdasarkan hasil pemeriksaan RF secara aglutinasi latex pada 15 sampel didapat
hasil 4 sampel positif (aglutinasi) terhadap RF yaitu sampel no. 1, 2, 14 dan 15, sedangkan
11 sampel menunjukkan reaksi negatif (tidak aglutinasi) terhadap RF sehingga dapat
disimpulkan bahwa pemeriksaan RF pada penderita tersangka RA dapat digunakan untuk
membantu diagnosa RA.
Kata kunci : rheumatoid arthritis, rheumatoid faktor
ABSTRACT
Rheumatoid Factor (RF)is immunoglobulin which interacted with IgG molecule. As showed
by its name, RF mainly used to diagnose and monitor Rheumatoid arthritis. All suffecter of
rheumatoid arthritis showed antibody toward IgG which called rheumatoid arthritis or
antiglobulin. Rheumatoid arthritis is a chronic systemic disease which is indicated with light
inflammation of connecting tissue. The purpose of this research is to know if the detection of
rheumatoid factor on rheumatoid arthritis susffected showed result of positive or negative
toward RF qualitatively. RF examination dad done latex agglutinavely by RF test Randox
method. When reagen was mixed with serum which contain RF higher level of 8,0 IU/ml,
then there would be agglutinated on the particel. This thing showed positive sample.
According to the result of RF examination latex agglutinavely in 15 samples there are
positive sample toward RF, those are samples number 1, 2, 14, and 15 while the other
samples showed negative reaction toward RF. So, it could be conclude that RF detection on
rheumatoid arthritis suspected could be used to help diagnosing RA.
Keywords: rheumatoid arthritis, rheumatoid factor
2
PENDAHULUAN
Dewasa ini perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam segala macam
bidang teknologi, khususnya imunologi serologi dan molekuler, dikembangkan
untuk menerangkan dan menegakkan diagnosa berbagai macam penyakit. Salah
satunya pemeriksaan Rheumatoid Faktor (RF) untuk mendiagnosa penyakit
Rheumatoid arthritis.
RF adalah imunoglobulin yang bereaksi dengan molekul IgG (Widmann,
1995). Sebagaimana ditunjukkan namanya, RF terutama dipakai untuk mendiagnosa
dan memantau rheumatoid arthritis (Sacher, 2004). Semua penderita dengan
Rheumatoid Arthritis (RA) menunjukkan antibodi terhadap IgG yang disebut faktor
rheumatoid atau antiglobulin (Roitt, 1985). Rheumatoid arthritis sendiri merupakan
suatu penyakit sistemik kronis yang ditandai dengan peradangan ringan jaringan
penyambung. Sekitar 80-85% penderita RA mempunyai autoantibodi yang dikenal
dengan nama Rheumatoid faktor dalam serumnya dan menunjukkan RF positif.
Faktor ini merupakan suatu faktor anti-gammaglobulin. Kadar RF yang sangat tinggi
menandakan prognosis buruk dengan kelainan sendi yang berat dan kemungkinan
komplikasi sistemik. (Price, 1999 dan Widmann, 1995).
Dengan pemeriksaan RF pada penderita tersangka Rheumatoid arthritis
dapat digunakan untuk membantu diagnosa Rheumatoid arthritis.Perumusan
masalahnya apakah pemeriksaan serum penderita tersangka Rheumatoid arthritis
yang diperiksa secara kualitatif memberikan hasil yang positif atau negatif terhadap
Rheumatoid faktor? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah pemeriksaan
Rheumatoid faktor dapat digunakan untuk membantu diagnosa penyakit Rheumatoid
arthritis.
METODOLOGI PENELITIAN
Data diperoleh dari laboratorium Rumah Umum Brayat Minulya Surakarta secara
acak, sampel darah diambil dari pasien yang dicurigai menderita Rheumatoid
arthritis. Pemeriksaan RF secara aglutinasi latex dengan metode Randox RF test.
3
Prosedur pemeriksaan RF
Prosedur secara kualitatif.
Meletakkan sample dan kontrol pada slide dengan tepat
Sampel Kontrol
positif
Kontrol
negatif
Sampel/
kontrol
50 μl 50 μl 50 μl
1. Meneteskan 50 μl reagen latex disamping setiap tetesan dari sampel atau
kontrol.
2. Mencampur dan meratakan sampai memenuhi lingkaran test.
3. Memutar slide selama 2 menit dan melihat adanya aglutinasi.
Prosedur secara semi kuantitatif
Menyiapkan pengenceran sample dengan pengencer 2 bagian sesuai dengan tabel
berikut ini:
Pengenceran RF (IU/ml pengenceran sampel)
1+1 16
1+2 24
1+4 40
1+8 72
dst…
Melakukan test pada setiap pengenceran sesuai dengan prosedur kualitatif sampai
tidak ada aglutinasi yang terlihat. Konsentrasi RF kemudian dapat dihitung dari
pengenceran terakhir yang ada aglutinasi.
RF (IU/ml) = pengenceran tertinggi reaksi positif x sensitivitas reagen (8,0 IU/ml)
4
Pembacaan Hasil
Cara pembacaan dari pemeriksaan Rheumatoid faktor secara aglutinasi latex:
Gambar 1. Reaksi positif dan negatif pada slide test
A: Reaksi positif bila terjadi aglutinasi
B. Reaksi negatif bila campuran keruh seperti susu
Jika terjadi hasil yang meragukan pada pemeriksaan, diulangi dan dibandingkan
dengan kontrol positif dan negatif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Data pemeriksaan Rheumatoid Faktor yang dilakukan pada 15 pasien tersangka
Rheumatoid Arthritis di RSU Brayat Minulya Surakarta didapatkan:
Tabel 1: Hasil pemeriksaan RF
No Nama Umur Hasil
1 Ny. A 63 Thn Positif
2 Tn. B 42 Thn Positif
3 Tn. C 80 Thn Negatif
4 Ny. D 45 Thn Negatif
5 Sdr. E 27 Thn Negatif
6 Ny. F 62 Thn Negatif
7 Tn. G 34 Thn Negatif
8 Ny. H 54 Thn Negatif
9 Ny. I 36 Thn Negatif
10 Ny. J 47 Thn Negatif
11 Ny. K 49 Thn Negatif
12 Ny, L 65 Thn Negatif
13 Tn. M 61 Thn Negatif
14 Ny. N 79 Thn Positif
15 Tn. O 74 Thn Positif
Ket: (+) aglutinasi
(-) tidak aglutinasi
A B
5
Dari hasil pemeriksaan RF pada pasien tersangka Rheumatoid Arthritis di
laboratorium RSU Brayat Minulya Surakarta, 15 sampel yang dicurigai menderita
RA didapatkan 4 sampel yang menunjukkan reaksi positif (aglutinasi) terhadap RF
yaitu Ny. A, Tn. B, Ny. N, Tn. O dan 11 sampel menunjukkan reaksi negatif (tidak
aglutinasi) terhadap RF yaitu Tn. C, Ny. D, Sdr. E, Ny. F, Tn. G, Ny. H, Ny. I, Ny. J,
Ny. K, Ny. L, Tn. M. Dari 4 sampel yang positif 3 diantaranya merupakan usia
lanjut, hal ini terjadi karena sebanyak 15-20% dari mereka yang berusia diatas 60
mempunyai RF positif yang titernya rendah.
Awal terjadinya infeksi pada penderita RA terjadi pada daerah persendian.
Sel-sel yang mengalami inflamasi akan menyebabkan Ab masuk ke dalam rongga
sinovial. Sel tersebut melepaskan enzim lisosomal yang berakibat merusak bagian Fc
pada Ig G sehingga terbentuk determinan antigenik (neoantigen). Sebagai respon
terhadap neoantigen maka dibentuk Ab dari Ig G dan Ig M. Antibodi ini disebut RF
= “ Autoantibodi “, yang dapat membentuk suatu kompleks Ag-Ab dengan Ig G
secara lokal di dalam atau diendapkan di dalam sinovial (Harti, 2006).
Prinsip pemeriksaan ini adalah reagen RF mengandung partikel latex yang
dilapisi dengan gamma globulin manusia. Ketika reagen yang dicampur dengan
serum yang mengandung RF pada level yang lebih besar dari 8,0 IU/ml maka pada
partikel akan terjadi aglutinasi. Hal ini menunjukkan reaksi positif pada sampel
terhadap RF. Dan harus dilakukan pemeriksaan secara semi kuantitatif untuk
mengetahui titernya. Untuk tujuan ini sample harus dilarutkan dengan pelarut yang
tersedia dan ditest secara kualitatif. Tingkat RFdapat dihitung dari pengenceran
terakhir dengan aglutinasi yang terlihat. Sebaliknya bila pada serum yang diperiksa
menunjukkan level kurang dari 8,0 IU/ml hal ini menunjukkan reaksi negatif
terhadap RF.
Penghitungan kadar RF (IU/ml) = pengenceran tertinggi reaksi positif x
sensitivitas reagen (8,0 IU/ml). Menurut Price (1999) dan Widmann (1995) sekitar
80-85% penderita RA mempunyai autoantibodi yang dikenal dengan nama
Rheumatoid faktor dalam serumnya. Faktor ini merupakan suatu factor antigammaglobulin.
Titer RF yang tinggi belum tentu selalu mencerminkan aktivitas
penyakit tersebut, tetapi biasanya ada kaitannya dengan rheumatoid nodul, penyakit
6
6
yang parah, vaskulitis dan prognosis yang jelek. Meskipun test RF dapat membantu
menentukan diagnosis, tetapi bukan test yang spesifik untuk RA. RF dapat
ditemukan pada penyakit jaringan penyambung lain (misalnya sistemik lupus
eritematous, skleroderma, dermatomiositis), juga pada sebagian kecil (3-5%)
masyarakat normal. Pada masyarakat normal, sero positif ini semakin meningkat
sesuai dengan lanjutnya usia, sebanyak 15-20% dari mereka yang berusia diatas 60
mempunyai RF positif yang titernya rendah. Darah juga dapat ditest untuk
mengetahui apakah laju endap darahnya meningkat. Ini merupakan suatu tanda yang
tidak spesifik adanya peradangan. Pasien penderita RA mungkin juga menderita
anemia. Cairan sinovial yang normal merupakan cairan kuning muda yang jernih
dengan jumlah leokosit kurang dari 200 sel per millimeter kubik. Karena proses
peradangan yang terjadi dalam sendi kasus RA, maka cairan sinovial kehilangan
viskositasnya sedangkan jumlah leukosit meningkat sampai 5000-50.000 per
millimeter kubik,sehingga cairan tampak keruh.
Pada orang dewasa, uji utama yang membedakan RA adalah uji RF serum.
Karena dengan bertambahnya usia maka semakin besar kemungkinan ditemukan
kadar RF yang rendah. Pada anak-anak, diagnosis pasti dari RA, tapi harus
menunggu timbulnya manifestasi sendi. Pencetusan penyakit sering menyerupai
pencetusan proses penyakit infeksi akut dengan demam tinggi, ruam, leukositosis
dan laju endap darah yang cepat.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan RF secara aglutinasi latex terhadap 15 sampel
pasien tersangka RA tahun 2006-2007 di laboratorium RSU Brayat Minulya
Surakarta, didapatkan 4 sampel yang menunjukkan reaksi positif (aglutinasi)
terhadap RF yaitu sampel no. 1, 2, 14 dan 15, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pemeriksaan RF pada penderita tersangka RA dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosa RA.
7
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih Della Puspawati dan semua pihak yang telah
membantu pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Rheumatoid (http://www.medicastore.com/
Gordon, N. F. 2002. Radang Sendi. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Harti, A. S. 2006. Imunologi Serologi II. Surakarta: Fakultas Biologi D III Analis
Kesehatan USB.
Mansjoer, A. dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta:
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Price, S. A. 1999. Patofisiologi 2, Jakarta: EGC.
Roit, I. M. 1985. Pokok-pokok Ilmu Kekebalan. Jakarta: EGC.
Sacher, R. A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Laboratorium. Jakarta: EGC.
Watts, H. D.1984. Terapi Medik. Jakarta: EGC.
Widmann, F. K.1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta:
EGC.

1 HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU HAMIL DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TANDA BAHAYA PADA KEHAMILAN DI PUSKESMAS SIDOHARJO KABUPATEN SRAGEN


Hutari Puji Astuti1
1Prodi D-III Kebidanan, STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Kesehatan ibu hamil adalah salah satu aspek yang penting untuk diperhatikan dalam
siklus kehidupan seorang perempuan. Kondisi terjadinya kematian ibu dapat
dipengaruhi pula oleh kurangnya pengetahuan ibu hamil mengenai komplikasi atau
penyulit pada masa kehamilan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
hubungan karakteristik ibu hamil dengan pengetahuan tentang tanda bahaya pada
kehamilan di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen Tahun 2011.Jenis penelitian
menggunakan metode analitik rancangan survey dengan pendekatan cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini ibu hamil di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen
melibatkan 53 responden yang dilakukan pada tanggal 25 Mei -25 Juni 2011. Data
yang dikumpulkan oleh peneliti adalah data primer dengan mengukur pengetahuan
dengan menggunakan kuesioner data diolah menggunakan langkah editing, coding,
tabulating. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi subjek penelitian
berdasarkan umur sebagaian besar umur 20-35 tahun 38 responden (71,69%),
pendidikan sebagian besar SMA 28 responden (52,83%), paritas sebagian besar
primipara 23 responden (43,30%), Dan 29 responden dengan tingkat pengetahuan
baik (54,7%). Sedangkan pada analisa bivariat menggunakan chi-square
ditunjukkan dengan perhitungan statistik antara umur dengan pengetahuan dengan
hasil X2 hitung 13,873 > X2 tabel 5,591 dan P value 0,001 dengan df = 2 artinya
mempunyai hubungan yang signifikan Perhitungan statistic antara pendidikan dan
pengetahuan dengan hasil X2 hitung 19,428 >X2 tabel 9,448 dan P value 0,001
dengan df = 4 artinya mempunyai hubungan yang signifikan. Perhitungan statistic
antara paritas dan pengetahuan dengan hasil X2 hitung 10,027 > X2 tabel 9,448 dan
P value 0,040 dengan df = 4 artinya mempunyai hubungan yang signifikan.
Simpulan hasil penelitian terdapat hubungan antara karakteristik ibu hamil dengan
tingkat pengetahuan tentang tanda bahaya pada kehamilan di Puskesmas Sidoharjo
Kabupaten Sragen.
Kata kunci : Hubungan, karakteristik ibu hamil, tingkat pengetahuan, tanda bahaya
kehamilan
.
PENDAHULUAN
Kehamilan dan melahirkan menimbulkan risiko kesehatan yang besar,
termasuk bagi perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya.
Kira-kira 40% ibu hamil mengalami masalah kesehatan berkaitan dengan kehamilan
dan 15 % dari semua ibu hamil menderita komplikasi jangka panjang yang
mengancam jiwa bahkan sampai menimbulkan kematian (Wiknjosastro, 2002).
2
AKI sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang paling utama.
Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di
Negara berkembang. Di Negara miskin sekitar 25%-50% kematian WUS (Wanita
Usia Subur) disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan kehamilan. Kematian
saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada masa
puncak produktifitasnya (Saifuddin, et al, 2002). Menurut Wiknjosastro (2002) salah
satu penyebab kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, preeklampsi/eklampsi
dan infeksi. Kematian ibu juga diwarnai oleh hal-hal nonteknis yang masuk kategori
penyebab mendasar seperti rendahnya status wanita, ketidakberdayaannya dan taraf
pendidikan rendah (Saifuddin, et al, 2002).
Pemerintah Indonesia sangat serius dalam menekan AKI dan AKB yang
mempunyai target tahun 2010 menurunkan AKI menjadi 150/100.000 kelahiran
hidup dan AKB menjadi 15/1000 kelahiran hidup dengan menggunakan progam
MPS (Making Pregnancy Safe) melalui tiga pesan kunci yaitu setiap persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan, setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat
pelayanan yang adekuat dan setiap Wanita Usia Subur mempunyai akses terhadap
pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran
(Dirjen Binmas Depkes, 2001).
Pengetahuan tentang tanda bahaya pada kehamilan sangat membantu
menurunkan AKI, karena dengan mengetahui tanda bahaya pada kehamilan seorang
ibu hamil akan lebih cepat mencari tempat pelayanan kesehatan sehingga risiko pada
kehamilan akan dapat terdeteksi dan tertangani lebih dini. Faktor pendidikan
merupakan karakteristik predisposisi dalam perilaku pengguna sarana kesehatan
terhadap penyerapan informasi dan pengetahuan (Syeh, 2008).
Dari pendataan ibu hamil terdapat karakteristik penggambaran dari ibu hamil
yang meliputi ciri demografi meliputi umur, jenis kehamilan, struktur sosial meliputi
pendidikan, paritas, manfaat dari pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan studi pendahuluan, meskipun ibu hamil sudah mendapatkan
buku KIA yang salah satu halamannya berisi pengetahuan tentang tanda bahaya
pada kehamilan, namun pengetahuan ibu hamil tentang tanda bahaya pada kehamilan
masih kurang karena faktor pendidikan juga dianggap berpengaruh pada kemampuan
ibu hamil untuk membaca dan memahami isi dari buku KIA. Dari 4 bidan yang ada
3
di puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen ada 2 bidan yang tidak memberikan
pengetahuan tentang tanda bahaya pada kehamilan dengan alasan jumlah ibu hamil
yang periksa banyak dan memerlukan waktu yang lama sehingga tidak semua ibu
hamil mendapatkan penjelasan dan mengetahui tentang tanda bahaya pada
kehamilan.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode analitik. Rancangan survey
pendekatan dengan menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu variabel
independent dan variabel dependent diukur pada saat yang sama.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian bertempat di wilayah Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen.
Waktu penelitian pada minggu ketiga bulan Maret sampai awal Juli 2011.
C. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang melakukan
pemeriksaan di wilayah Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen yang berjumlah
53 orang.
D. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik total populasi yaitu
teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel
(Setiawan, et al, 2010). Sampel dalam penelitian ini sejumlah 53 responden.
HASIL PENELITIAN
1. Karakteristik Responden
Data yang diambil adalah data primer kemudian dilakukan data dan didapatkan
gambaran umum hubungan karakteristik ibu hamil dengan tingkat pengetahuan
tentang tanda bahaya kehamilan. Berikut ini adalah hasil penelitian secara rinci.
4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasar Umur
(Sumber: Data Primer, 2011)
Diagram 4.1. Karakteristik responden berdasarkan umur di Puskesmas Sidoharjo
Kabupaten Sragen bulan Juni 2011.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan
28% 53%
19%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Tingkat Pendidikan
SD/SMP
SMA
D3/S1
(Sumber: Data Primer, 2011)
Diagram 4.2. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan di Puskesmas
Sidoharjo Kabupaten Sragen bulan Juni 2011.
a. Distribusi frekuensi responden berdasarkan paritas
Paritas yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah jumlah parietas.
Responden yaitu : primigravida, primipara, multipara.
28%
72%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Umur
<20th & >35th
20-35th
5
23% 43%
34%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Paritas
Primigravida
Primipara
Multipara
Diagram 4.3. Karakteristik responden berdasarkan paritas
di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen bulan Juni
2011.
2. Analisa Univariat
a. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden berdasarkan umur
68.4%
20.0%
26.3%
40.0%
5.3%
40.0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
20-35Th <20 & >35Th
Umur
Tingkat Pengetahuan
Baik
Cukup
Kurang
(Sumber : Data Primer, 2011)
Diagram 4.4. Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Umur
di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen Bulan Juni
2011
6
b. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden berdasarkan
pendidikan
20.0%
64.3%
80.0%
33.3%
32.1%
20.0%
46.7%
3.6%
0.0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
SD/SMP SMA D3/S1
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pengetahuan
Baik
Cukup
Kurang
(Sumber : Data Primer, 2011)
Diagram 4.5. Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Pendidikan
di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen Bulan Juni
2011
c. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan berdasarkan paritas
33.3%
52.2%
72.2%
33.3%
43.5%
11.1%
33.3%
4.3%
16.7%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Primigravida Primipara Multipara
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pengetahuan
Baik
Cukup
Kurang
(Sumber : Data Primer, 2011)
Diagram 4.6. Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Paritas di
Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen Bulan Juni 2011
3. Analisa Bivariat
Merupakan analisa untuk mengetahui hubungan karakteristik ibu hamil
dengan tingkat pengetahuan tentang tanda bahaya pada kehamilan di
puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen bulan Juni 2011.
Tingkat Paritas
7
Tabel 4.1. Hubungan umur ibu hamil dengan pengetahuan tentang tanda
bahaya pada kehamilan di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten
Sragen Bulan Juni 2011.
Tingkat
Pengetahuan
Reproduksi
Sehat Umur
Reproduksi Tidak
Sehat Umur Total X2 hitung
20-35 th <20 & >35 th
Baik 26 (68,4%) 3 (20,0%) 29 (54,7%)
13,873
Cukup 10 (26,3%) 6 (40,0%) 16 (30,2%)
Kurang 2 (5,3%) 6 (40,0%) 8 (15,1%)
Total 38 (100%) 15 (100%) 53 (100%)
(Sumber: Data Primer, 2011)
Tabel 4.2. Hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan
pengetahuan tentang tanda bahaya pada kehamilan di Puskesmas
Sidoharjo Kabupaten Sragen Bulan Juni 2011
Tingkat
Pengetahuan
Tingkat Pendidikan Total
X2 hitung
Pendidikan
Dasar
(SD/SMP)
Pendidikan
Menengah
(SMA)
Perguruan
Tinggi
(D3, S1)
Baik 3 (20,0%) 18 (64,3%) 8 (80,0%) 29 (54,7%)
19,248
Cukup 5 (33.3%) 9 (32,1%) 2 (20,0%) 16 (30,2%)
Kurang 7 (46,7%) 1 (3,6%) 0 (0%) 8 (15,1%)
Total 15 (100%) 28 (100%) 10 (100%) 53 (100%)
(Sumber: Data Primer, 2011)
Tabel 4.3. Hubungan antara paritas ibu hamil dengan pengetahuan tentang
tanda bahaya pada kehamilan di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten
Sragen Bulan Juni 2011
Tingkat
Pengetahuan
Paritas
Total X2 hitung
Primigravida Primipara Multipara
Baik 4 (33,3%) 12 (52,2%) 13 (72,2%) 29 (54,7%)
10,027
Cukup 4 (33,3%) 10 (43,5%) 2 (11,1%) 16 (30,2%)
Kurang 4 (33,3%) 1 (4,3%) 3 (16,7%) 8 (15,1%)
Total 12 (100%) 23 (100%) 18 (100%) 53 (100%)
(Sumber: Data Primer, 2011)
1. Pembahasan Berdasarkan Karakteristik Responden
a. Berdasarkan karakteristik responden menurut umur pada diagram 4.1.
responden terbanyak yaitu umur 20-35 tahun sebanyak 38 responden
(72%), dan umur <20 dan >35 tahun sebanyak 15 responden (28%).
8
Umur sangat berpengaruh terhadap kehamilan karena diharapkan
organ reproduksi sudah siap dan matang dalam menghadapi kehamilan
(Notoatmodjo, 2002). Dalam kurun reproduksi sehat dikenal usia aman
untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-35 tahun. Umur ibu hamil <20
tahun dan >35 tahun merupakan umur berisiko untuk mengalami
komplikasi kehamilan dan persalinan (Wiknjosastro, 2002).
b. Berdasarkan karakteristik responden menurut pendidikan pada diagram
4.2. diketahui bahwa responden terbanyak dengan pendidikan menengah
(SMA) sebanyak 28 responden (53%), pendidikan dasar (SD/SMP) 15
responden (29%) dan paling sedikit perguruan tinggi (D3, S1) 10
responden (18 %).
Sehingga wanita yang mempunyai pendidikan yang baik, mereka
mampu mengupayakan rencana untuk mendapatkan pengetahuan oleh
pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2003).
c. Berdasarkan karakteristik reponden menurut paritas pada diagram 4.3.
responden terbanyak yaitu primipara 23 responden (43%), multipara 18
responden (34%) dan yang paling sedikit primigravida 12 responden
(23%).
Semakin banyak paritas ibu maka pengalaman dan
pengetahuannyapun akan bertambah (Salmah, 2006).
2. Pembahasan Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Karakteristik
a. Tingkat pengetahuan responden berdasarkan umur 20-35 tahun pada
diagram 4.4. dengan pengetahuan baik adalah 26 responden (68,4%),
cukup 10 responden (26,3%), dan kurang 2 responden (5,3%). Kategori
umur <20 dan > 35 tahun yang berpengetahuan baik 3 responden
(20,0%), cukup 6 responden (40,0%), kurang 6 respoden (40%).
Elisabeth B Hurrock (2004), mengungkapkan bahwa
berkembangnya pengetahuan dan keterampilan seseorang berjalan dengan
umur pendidikan. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja
(Notoatmodjo, 2002 ).
9
b. Tingkat pengetahuan responden berdasarkan pendidikan pada diagram
4.5. untuk pendidikan dasar (SD/SMP) yang berpengetahuan baik 3
responden (20,0%), cukup 5 responden (33,3%), kurang 7 responden
(46,7%). Pendidikan menengah (SMA) pengetahuan baik 18 responden
(64,3%), cukup 9 responden (32,1%), kurang 1 reponden (3,6%).
Perguruan Tinggi (D3, S1) pengetahuan baik 8 responden (80,0%), cukup
2 responden (20,0%), kurang 0 responden (0%).
Pendidikan secara umum adalah upaya yang direncakanan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat
sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan
(Notoatmodjo, 2003).
c. Tingkat pengetahuan responden berdasarkan paritas pada diagram 4.6.
didapatkan hasil primigravida pengetahuan baik 4 responden (33,3%),
cukup 4 responden (33,3%), dan kurang 4 responden (33,3%). Primipara
pengetahuan baik 12 responden (52,2%), cukup 10 responden (43,5%),
kurang 1 responden (4,3%). Multipara pengetahuan baik 13 responden
(72,2%), cukup 2 responden (11,1%), kurang 3 responden (16,7%).
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2002) paritas adalah keadaan
wanita berkaitan dengan jumlah anak yang dilahirkan. Semakin banyak
paritas semakin banyak pula pengalaman dan pengetahuannya sehingga
mampu memberikan hasil yang lebih baik dan suatu pengalaman masa
lalu mempengaruhi belajar (Salmah, 2006).
3. Pembahasan Hubungan Karakteristik dengan Tingkat Pengetahuan
a. Hubungan umur dengan tingkat pengetahuan pada tabel 4.4.
menunjukkan bahwa responden yang dominan adalah umur 20-35 tahun.
Menurut Depkes RI (2000) umur merupakan salah satu variabel
dari model demografi yang digunakan sebagai ukuran mutlak atau
indikator psikologis yang berbeda, umur ibu mempengaruhi bagaimana
ibu hamil mengambil keputusan dalam pemeliharaan. Semakin cukup
umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang
dalam berfikir dan bekerja
(Notoatmodjo, 2002 ).
10
b. Hubungan pendidikan dengan tingkat pengetahuan pada tabel 4.5.
menunjukkan bahwa responden yang dominan adalah pendidikan
menengah (SMA).
Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus dan juga sesuatu
yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian
pengetahuan, pertimbangan dan kebijakan. Sehingga pendidikan dan
pengetahuan saling berkaitan. Wanita yang berpendidikan akan membuat
keputusan yang benar dalam memperhatikan kesehatan anak-anaknya
serta kesehatan dirinya sendiri (Meliono, 2007).
Dari hasil uji chi-square didapatkan P value 0,001 dengan dk : 4
taraf signifikan 5% dengan X2 tabel 9,488 didapatkan hasil X2 hitung >
X2 tabel (19,428 > 9,488). Maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada
hubungan secara signifikan antara pendidikan ibu hamil dengan tingkat
pengetahuan.
Tingkatan pendidikan menengah (SMA) merupakan lanjutan dari
pendidikan dasar yang berbentuk pendidikan menengah atas (Undang-
Undang Sisdiknas, 2003).
c. Hubungan paritas ibu dengan tingkat pengetahuan pada tabel 4.6.
menunjukan bahwa responden yang penting dominant adalah primipara.
Dari hasil uji chi-square didapatkan P value 0,040 X2 tabel dengan dk : 4
taraf signifikan 5% yaitu 9,488 didapatkan hasil X2 hitung > X2 tabel
(10,027 > 9,488). Maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada hubungan
signifikan antara paritas ibu dengan tingkat pengetahuan.
KESIMPULAN
1. Umur ibu di wilayah puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen yang terbanyak
yaitu umur 20-35 tahun (reproduksi sehat) 38 responden (71,69%).
2. Tingkat pendidikan ibu di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen yang
terbanyak SMA 28 responden (52,83%).
3. Paritas ibu di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen yang terbanyak yaitu
primipara 23 responden (43,39%).
11
4. Tingkat pengetahuan responden di wilayah kehamilan Puskesmas Sidoharjo
Kabupaten Sragen menunjukkan bahwa tentang tanda bahaya kehamilan
dengan yaitu kategori baik 29 responden (54,7%).
5. Hubungan umur dengan tingkat pengetahuan pada tabel 4.4. menunjukkan
bahwa responden yang dominan adalah umur 20-35 tahun. Hasil uji chisquare
menggunakan SPSS 17.0 (Statistical Product and Service Solution
Ver. 17.0) didapatkan p value 0,001 dengan dk = 2 taraf signifkan 5% X2
tabel 5,591 didapatkan hasil X2 hitung > X2 tabel (13.873 > 5,591). Maka Ho
ditolak dan Ha diterima artinya ada hubungan secara signifikan antara umur
ibu dengan tingkat pengetahuan.
6. Hubungan pendidikan dengan tingkat pengetahuan menunjukkan bahwa
responden yang dominan adalah pendidikan menengah (SMA). Dari hasil uji
chi-square didapatkan P value 0,001 dengan dk : 4 taraf signifikan 5% dengan
X2 tabel 9,488 didapatkan hasil X2 hitung > X2 tabel (19,428 > 9,488). Maka
Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada hubungan secara signifikan antara
pendidikan ibu hamil dengan tingkat pengetahuan.
7. Hubungan paritas ibu dengan tingkat pengetahuan menunjukan bahwa
responden yang penting dominant adalah primipara. Dari hasil uji chi-square
didapatkan P value 0,040 X2 tabel dengan dk : 4 taraf signifikan 5% yaitu
9,488 didapatkan hasil X2 hitung > X2 tabel (10,027 > 9,488). Maka Ho
ditolak dan Ha diterima artinya ada hubungan signifikan antara paritas ibu
dengan tingkat pengetahuan.
8. Terdapat hubungan antara karakteristik ibu hamil dengan tingkat pengetahuan
tentang tanda bahaya pada kehamilan di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten
Sragen
DAFTAR PUSTAKA
Suharsimi-Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT.
Rineka Cipta, Jakarta
Budiarto, E. 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. EGC,
Jakarta
Cunningham. 2006. Obstetri Williams. EGC, Jakarta
12
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. 2001. Making Pregnancy Safe. Dep Kes RI,
Jakarta
Dinkes. 2009. Laporan PWS KIA. Kabupaten Sragen
Hidayat, A.A. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data.
Salemba Media, Jakarta.
Hurrock, E.B. 2004. Asuhan Pranatal dan Pasca Partum. Available online:
http://elizabeth.wordpress.com. 07 Mei 2010.
Kusmiyati, Yuni Heni Puji Wahyuningsih, Sujiyatini. 2009. Perawatan Ibu Hamil
(Asuhan Ibu Hamil) Yogyakarta, Fitrimaya
Krisnadi. 2007. Waspadai Tanda Bahaya Sebelum Persalinan.
http://cafeperempuan.com/newreplay. 15 April 2010
Mandriwati, G.A. 2007. Penuntun Belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil. Jakarta,
EGC.
Maimunah, S. 2005. Kamus Istilah Kebidanan. EGC, Jakarta.
Mufdlilah. 2009. ANC Focus, Antenatal Care Focused. Yogyakarta, Nurhamediaka.
Machfoedz, I. 2007. Statistik Induktif Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan.
Fitramaya, Yogyakarta.
Meliono, Efendi. 2007. Pengetahuan Files. http://melionoetal.wordpress. Available
10 April 2010.
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-Prinsip Dasar.
PT. Rineka Cipta, Jakarta
_______. 2003. Metodologi Penelitian. PT. Rineka Cipta, Jakarta
_______. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, PT. Rineka Cipta.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Salemba Media, Jakarta.
Pusdiknakes. 2003. Asuhan Antenatal. WHO-JHPIEGO: Jakarta.
Riduwan. 2003. Dasar-Dasar Statistika. Alfa Beta: Bandung.
Rochjati. 2003. Waspadai Tanda-Tanda Bahaya Sebelum Persalinan. Available
online: http://kafeperempuan.com. 10 Mei 2010.
13
Rochjati, Poedji. 2003. Skrinning Antenatal Pada Ibu Hamil Pengenalan Faktor
Resiko Deteksi dini Ibu Hamil Resiko Tinggi. Airlangga University Press,
Surabaya
Salmah, Anditha. 2006. Paritas. http://saland.wordpress.com.2006/05/07. Available
7 Mei 2010.
Saifuddin. 2002. Panduan Praktis Pelayanan Maternal Perinatal. YBPSP, Jakarta
Setiawan, A dan Saryono. 2010. Metodologi Penelitian Kebidanan DIII, DIV, S1 dan
S2. Nuhamedika, Yogjakarta
Simkin, Peny; Janet Whalley; Ann Kepple. 2007. Kehamilan, Melahirkan dan Bayi
Panduan Lengkap. Jakarta, Arcan
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung,
Alfabeta
Syeh. 2008. Tanda Bahaya Kehamilan. Available online:
http://syehaceh.wordpress.com. 07 April 2010.
Undang-undang SISDIKNAS. 2005. Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Th.
2003). Solo, CV. Kharisma.
Wiknjosastro. 2002. Ilmu Kebidanan. YBPSP, Jakarta
_______. 2006. Ilmu Kebidanan. YBPSP, Jakarta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. 2002.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. YBPSP, Jakarta

PERBEDAAN EFEKTIFITAS TERAPI MUSIK KLASIK DAN TERAPI MUSIK MURROTAL TERHADAP PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK AUTIS DI SLB AUTIS KOTA SURAKARTA


Nur Afuana Hady, Wahyuni, Wahyu Purwaningsih
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah Surakarta
ABSTRAK
Latar Belakang: Autisme adalah gangguan neurologis berat yang mempengaruhi cara seseorang
untuk berkomunikasi atau berhubungan dengan orang lain disekitarnya secara wajar. Menurut
data statistik dunia jumlah anak autis semakin meningkat beberapa tahun terahkhir ini. Bila di
tahun 1990 jumlah anak autisme ialah 15 hingga 20 per 10.000 anak, maka pada tahun 2000
kasus autisme diperkirakan ada 1 per 150 anak di Amerika Serikat. Sedangkan menurut APA dan
Fox, di tahun 2000 kasus autisme terjadi 2 hingga 20 dari 10.000 orang dalam suatu populasi.
Tujuan; mengetahui perbedaan efektifitas terapi musik klasik dan terapi musik murotal terhadap
perkembangan kognitif anak autis. Metode: Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian
adalah Quasi Eksperiment dengan rancangan control time series design. Pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling dengan analisa bivariat menggunakan uji t. Hasil: Hasil uji
bivariat membuktikan ada perbedaan efektifitas terapi musik klasik dan terapi musik murotal
terhadap perkembangan kognitif anak autis dengan hasil pretest t hitung (0,000) < t tabel (2,086)
dengan angka signifikan (1,000 > 0,05) sedangkan hasil post-test t hitung (5,323) > t tabel
(2,086) dengan angka signifikan (0,000 < 0,05) sehingga dapat dilihat terapi musik murotal
mempunyai pengaruh jauh lebih baik daripada terapi musik klasik. Kesimpulan: Terapi musik
murotal lebih efektif terhadap perkembangan kognitif anak autis.
Kata Kunci: Autisme, terapi musik klasik, terapi musik murotal
A. PENDAHULUAN
Autisme adalah gangguan neurologis
berat yang mempengaruhi cara seseorang
untuk berkomunikasi atau berhubungan
dengan orang lain disekitarnya secara wajar
(Safari, 2005). Umumnya mereka mengalami
kesulitan berkomunikasi baik verbal maupun
non verbal. Sikap tersebut seperti menarik diri,
tidak menjalin komunikasi, berbicara sendiri,
menyanyi sendiri tanpa sebab, berputar-putar
tanpa alasan, bahkan dapat menimbulkan
kejengkelan orang disekitarnya (Mangunsong,
2009).
Anak autisme memiliki kemampuan dan
karakteristik yang berbeda satu sama lain,
sehingga hal tersebut menentukan caranya
berinteraksi terhadap diri dan lingkungan serta
menjadikan anak autisme sebagai pribadi yang
unik. Ketidakmampuan dalam berkomunikasi
ini disebabkan adanya kerusakan sebagian
72 Perbedaan Efektifitas Terapi Musik Klasik ...
GASTER Vol. 9 No. 2 Agustus 2012
fungsi otak. Gangguan perilaku ini dapat berupa
kurangnya interaksi social, penghindaran kontak
mata, kesulitan dalam mengembangkan bahasa
dan pengulangan tingkah laku (Mangunsong,
2009).
Menurut data statistik dunia jumlah anak
autis semakin meningkat beberapa tahun
terahkhir ini. Bila di tahun 1990 jumlah
anak autisme ialah 15 hingga 20 per 10.000
anak, maka pada tahun 2000 kasus autisme
diperkirakan ada 1 per 150 anak di Amerika
Serikat. Sedangkan menurut APA dan Fox, di
tahun 2000 kasus autisme terjadi 2 hingga 20
dari 10.000 orang dalam suatu populasi (Nevid
et al, 2003).
Di Indonesia, kesan peningkatan juga
terlihat di ruang day care Psikiatri Anak RSUD
Dr. Soetomo, dimana jumlah pasien yang
datang dengan gangguan perkembangan autis
ini bertambah. Tahun-tahun sebelumnya, tiap
tahun hanya sekitar 2 hingga 3 orang anak.
Pada tahun 2000 jumlahnya meningkat dengan
tajam sampai kurang lebih 20 anak. Hal ini juga
terjadi pada tahun-tahun berikutnya (Novia,
2007).
Berdasarkan hasil survey yang telah
dilakukan di SLB Autis Kota Surakarta
menunjukkan jumlah anak autis dari tahun
2007 -2011 meningkat hingga 2x lipat yaitu dari
4anak per tahun menjadi 8anak pertahun.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian kuantitatif yang menggunakan
rancangan penelitian quasy eksperimental
atau eksperimental semu dengan metode
penelitian control time series design. Teknik
sampling yang digunakan adalah Purposife
sampling yaitu pengambilan sampel dengan
memilih sampel sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan
peneliti, dengan jumlah sampel sebanyak 20
responden yang dibagi menjadi 2 kelompok
yang masing masing terdiri dari 10 responden
untuk kelompok kasus (kelompok musik
klasik) dan 10 responden untuk kelompok
pembanding (kelompok musik murrotal)
dengan tingkat kemampuan yang signifikan
sama. Analisa data dilakukan dengan
cara sebagai berikut a. Analisa univariate
yaitu analisis yang dilakukan pada tiap
variabel untuk menghasilkan distribusi
frekuensi dari tiap variabel. b. Analisa
bivariate yaitu Analisa yang digunakan juga
untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
efektifitas terapi musik klasik dan terapi
musik murrotal terhadap perkembangan
kognitif anak autis. Analisa bivariat yang
digunakan adalah uji t.
Perbedaan Efektifitas Terapi Musik Klasik ... 73
GASTER Vol. 9 No. 2 Agustus 2012
C. HASIL PENELITIAN
Penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Juni-Juli 2012 di SLB Autis Kota Surakarta ini
mempunyai tujuan untuk mengetahui perbedaan
efektifitas antara terapi musik klasik dan
terapi musik murotal terhadap perkembangan
kognitif anak autis. Penelitian ini dilakukan
dengan memperdengarkan musik murrotal
dan klasik pada masing-masing kelompok
yang sebelumnya sudah diberikan permainan
sebagai test awal kemudian setelah terapi
diberikan diberikan kembali permainan yang
sama sebagai test akhir. Jumlah responden pada
penelitian ini sebanyak 10 kelompok kasus
(kelompok musik klasik) dan 10 kelompok
pembanding (kelompok musik murrotal).
Hasil yang didapat dari pengolahan data
tersebut diuraikan secara rinci di bawah ini :
Tabel 1 Distribusi frekuensi sebelum dan
sesudah terapi musik klasik terhadap perkembangan
kognitif anak autis
Perkembangan
Kognitif
Sebelum
Sesudah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
4 (mampu melakukan sesuai instruksi tetapi
dengan bantuan) sebanyak 2 responden dan
skor perkembangan kognitif terendah adalah
2 (belum mampu melakukan sesuai dengan
instruksi) sebanyak 1 responden. Sedangkan
skor perkembangan kognitif tertinggi setelah
dilakukan terapi musik klasik adalah 5
(mampu melakukan sesuai dengan intruksi
tanpa bantuan) sebanyak 2 responden dan
skor perkembangan kognitif terendah adalah
3 (mampu melakukan tetapi tidak sesuai
instruksi) sebanyak 2 responden.
Tabel 2 Hasil uji terapi musik klasik terhadap
perkembangan kognitif anak autis
Nilai
Kelompok rata- t hitung t tabel Signifikan
rata
Test Awal 3,50 20,412 2,262 0,000
Test Akhir 4,44
Berdasarkan tabel 3.2 hasil t test untuk
mengetahui perbedaan perkembangan kognitif
sebelum dan sesudah dilakukan terapi musik
klasik pada anak autis. Hasil perhitungan
didapatkan nilai t hitung sebesar 20,412 dan t
tabel sebesar 2,262. Berdasarkan hasil tersebut
diketahui t hitung (20,412) > t tabel (2,262)
sehingga disimpulkan ada perbedaan sebelum
Berdasarkan tabel 3.1 menunjukkan
bahwa skor perkembangan kognitif tertinggi
sebelum dilakukan terapi musik klasik adalah
dan sesudah dilakukan terapi musik klasik.
74 Perbedaan Efektifitas Terapi Musik Klasik ...
GASTER Vol. 9 No. 2 Agustus 2012
Tabel 3 Distribusi frekuensi sebelum dan
sesudah terapi musik murotal terhadap
perkembangan kognitif anak autis
Perkembangan
kogntif
Sebelum
Sesudah
Sumber: Data primer, diolah pada tahun 2012
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berdasarkan tabel 3.4 hasil t test untuk
mengetahui perbedaan perkembangan kognitif
sebelum dan sesudah dilakukan terapi musik
murotal pada anak autis. Hasil perhitungan
didapatkan nilai t hitung sebesar 33,213 dan t
tabel sebesar 2,262. Berdasarkan hasil tersebut
diketahui t hitung (33,213) > t tabel (2,262)
sehingga disimpulkan ada perbedaan sebelum
dan sesudah dilakukan terapi musik murotal
Tabel 5 Hasil pretest perkembangan kognitif
anak autis sebelum diberikan terapi musik
Skor
Perkembangan
Kognitif
Nilai rata-rata
(mean)
Nilai tertinggi
Nilai Terendah
Standar Deviasi
Kelompok
Musik Klasik
3,50
4,11
2,20
0,594
Kelompok
Musik Murotal
3,50
4,11
2,20
0,594
Berdasarkan tabel 3.3 menunjukkan
bahwa skor perkembangan kognitif tertinggi
sebelum dilakukan terapi musik murotal adalah
4 (mampu melakukan sesuai instruksi tetapi
dengan bantuan) sebanyak 3 responden dan
skor perkembangan kognitif terendah adalah
2 (belum mampu melakukan sesuai dengan
instruksi) sebanyak 1 responden. Sedangkan
skor perkembangan kognitif tertinggi setelah
dilakukan terapi musik murotal adalah 6
(mampu melakukan sesuai dengan intruksi
tanpa bantuan dengan waktu relatif lama)
sebanyak 4 responden dan skor perkembangan
kognitif terendah adalah 4 (mampu melakukan
sesuai instruksi tetapi dengan bantuan) sebanyak
1 responden.
Tabel 4 Hasil uji terapi musik murotal terhadap
perkembangan kognitif
anak autis
Nilai
Kelompok rata- t hitung t tabel
rata
Test Awal 3,50 33,213 2,262
Test Akhir 5,75
Signifikan
0,000
Sumber: Data primer, diolah pada tahun 2012
Berdasarkan tabel 3.5 rata-rata skor
perkembangan kognitif pada kelompok
musik klasik sebesar 3,50 dan rata-rata skor
perkembangan kognitif pada kelompok
musik murotal 3,50. Dilihat dari nilai ratarata
diatas menunjukkan kedua kelompok
mempunyai skor perkembangan kognitif yang
sama sehingga dapat disimpulkan tidak ada
perbedaan skor perkembangan kognitif antara
kedua kelompok sebelum dilakukan terapi.
Sumber: Data primer, diolah pada tahun 2012
Perbedaan Efektifitas Terapi Musik Klasik ... 75
GASTER Vol. 9 No. 2 Agustus 2012
Tabel 6 Hasil Perbedaan pretest antara terapi
musik klasik dan terapi musik murotal
Kelompok N
Klasik
Murotal
Nilai
ratarata
t
hitung
0,000
t tabel Signifikan
2,086 1,000
kelompok musik murotal 5,75. Berdasarkan
nilai rata-rata menunjukkan kedua kelompok
murotal mempunyai skor perkembangan
kognitif yang lebih baik dibandingkan pada
kelompok musik klasik. Hal ini menunjukkan
ada perbedaan skor perkembangan kognitif
antara dua kelompok sebelum dilakukan
terapi.
Tabel 8 Hasil Perbedaan post-test antara terapi
musik klasik dan terapi musik murotal
Nilai
t t Signi-
Kelompok N ratahitung
tabel fikan
rata
Klasik 10 4,44 5,323 2,086 0,000
Murotal 10 5,75
Sumber: Data primer, diolah pada tahun 2012
10 3,50
10 3,50
Sumber: Data primer, diolah pada tahun 2012
Berdasarkan tabel 3.6 menunjukkan t hitung
(0,000) < t tabel (2,086) dan angka signifikan
(1,000 > 0,05) sehingga disimpulkan tidak ada
perbedaan skor perkembangan kognitif antara
kelompok musik klasik dan murotal sebelum
dilakukan terapi. Hal ini menunjukkan sebelum
dilakukan terapi kedua kelompok mempunyai
skor perkambangan kognitif yang sama atau
tidak ada perbedaan, sehingga memenuhi
persyaratan keseimbangan kedua kelompok
sebelum dilakukan terapi musik.
Tabel 7 Hasil post-test perkembangan kognitif
anak autis setelah diberikan terapi musik
Skor Perkembangan
Kognitif
Kelompok
Musik
Klasik
Kelompok
Musik
Murotal
5,75
6,24
4,57
0,483
Berdasarkan tabel 3.8 menunjukkan t
hitung (5,323) > t tabel (2,086) dan angka
signifikan (0,000 < 0,05) sehingga disimpulkan
ada perbedaan skor perkembangan kognitif
antara kelompok musik klasik dan murotal
sebelum dilakukan terapi.
Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas
kenaikan perkembangan kognitif masingmasing
kelompok dapat dilihat dari prosentase
peningkatan tiap kelompok perlakuan. Adapun
peningkatan prosentase kenaikan tingkat
perkembangan kognitif masing-masing
kelompok dengan hasil sebagai berikut.
Nilai rata-rata (mean) 4,44
Nilai tertinggi 5,09
Nilai Terendah 3,08
Standar Deviasi 0,608
Sumber: Data primer, diolah pada tahun 2012
Berdasarkan tabel 3.7 menunjukkan
rata-rata skor perkembangan kognitif pada
kelompok musik klasik sebesar 4,44dan
rata-rata skor perkembangan kognitif pada
76 Perbedaan Efektifitas Terapi Musik Klasik ...
GASTER Vol. 9 No. 2 Agustus 2012
Tabel 9 Hasil Perbedaan pretest dan post-test
antara terapi musik klasik dan terapi musik
murotal
Kelompok
N
Ratarata
pretest
Ratarata
Perbe- Persentase
post- daan peningkatan
test
4,44
5,75
0,94
2,25
27,59
64.39
Pemilihan musik Mozart menurut
Campbell (2001a) efektif membantu
perkembangan kognitif pada anak autis.
Riset neurologis menemukan bahwa
otak memasuki kegiatan sintesis sebagai
jawaban terhadap musik, pada dasarnya
otak diprogram organiknya bersifat
simponis tidak mekanistis sehingga
penggunaan terapi musik dengan jenis
tertentu akan dapat membantu.
Menurut Jay Dowling dalam Campbell
(2001b) manusia mempunyai dua macam
memori, yaitu memori deklaratif yang
lebih terkait dengan pikiran dan memori
prosedural yang terhubung dengan tubuh.
Sedangkan musik memiliki kemampuan
Klasik 10 3,50
Murotal 10 3,50
Sumber: Data primer, diolah pada tahun 2012
Berdasarkan tabel 9 menunjukkan pada
kelompok musik klasik dengan prosentase
peningkatan sebesar 27,59% dan untuk
kelompok musik murotal dengan prosentase
peningkatan sebesar 64,39%. Hasil ini
menunjukkan pada terapi dengan menggunakan
musik murotal lebih efektif dibandingkan
dengan terapi menggunakan musik klasik.
D. PEMBAHASAN
Sesuai dengan hasil penelitian yang telah
dipaparkan, akan dilakukan pembahasan lebih
lanjut yang bertujuan untuk menginterpretasikan
data hasil penelitian dan kemudian dibandingkan
dengan konsep atau teori yang terkait.
1. Perbedaan Perkembangan Kognitif
sebelum dan sesudah pada Terapi Musik
Klasik
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan
adanya pengaruh signifikan sebelum
dan sesudah dilakukan terapi musik
klasik. Musik klasik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah karya Mozart.
untuk menggabungkan proses pikiran
dan tubuh menjadi satu pengalaman
yang selanjutnya memudahkan dan
meningkatkan proses belajar.
Menurut Campbel (2001b)
musik bersifat terapeutik dan bersifat
menyembuhkan. Musik menghasilkan
rangsangan ritmis yang di tangkap oleh
organ pendengaran dan diolah di dalam
sistem saraf tubuh dan kelenjar pada otak
yang mereorganisasi interpretasi bunyi ke
dalam ritme internal pendengar.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh
penelitian Suhadianto (2009) dikutip dalam
Perbedaan Efektifitas Terapi Musik Klasik ... 77
GASTER Vol. 9 No. 2 Agustus 2012
Aulia et al (2010) yang menghasilkan
kesimpulan bahwa musik klasik (Mozart)
berpengaruh terhadap memori anak
autis.
2. Perbedaan Perkembangan Kognitif
sebelum dan sesudah pada Terapi Musik
Murotal
Berdasarkan hasil table 2 menunjukkan
adanya pengaruh sebelum dan sesudah
dilakukan terapi musik murotal. Musik
murotal yang digunakan adalah Al-Quran
Surat Al Baqarah. Musik murottal adalah
rekaman suara Al-Qur’an yang dilagukan
oleh seorang qori’ (Sa’dulloh, 2008).
Terapi murrotal adalah terapi bacaan
Al-Quran yang merupakan terapi religi
dimana seseorang dibacakan ayat-ayat
AL-Quran selama beberapa menit atau jam
sehingga memberikan dampak positif bagi
tubuh seseorang (Gusmiran, 2005).
Hasil penelitian ini didukung juga oleh
penelitian Khan (2003) dalam Aulia et al
(2010) yang menyatakan bahwa murotal
juga membawa pengaruh positif bagi
pendengarnya seperti halnya musik klasik.
3. Perbedaan Efektivitas musik Terapi
Musik Klasik dan Murotal terhadap
Perkembangan Kognitif Anak Autis
Berdasarkan hasil penelitian pada
tabel 3 menunjukkan kelompok murotal
78
mempunyai skor perkembangan kognitif
yang lebih baik dibandingkan pada
kelompok musik klasik. Perbedaan
ini dapat dilihat dari hasil prosentase
peningkatan sebesar 27,59% dan untuk
kel om pok m usi k m urotal de nga n
prosentase peningkatan sebesar 64,39%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya
perbedaan efektifitas antara kelompok
terapi musik klasik dan terapi musik
murotal terhadap perkembangan kognitif
anak autis.
Menurut Sa’dulloh (2008) Al-Quran
memiliki banyak manfaat baik bagi
pembaca maupun pendengar salah satunya
terhadap perkembangan kognitif yaitu
dapat mempertajam ingatan dan pemikiran
yang cemerlang. Sedangkan menurut
Dr. Al Qadhi dalam Gusmiran (2005),
melalui penelitiannya yang panjang dan
serius di Klinik Besar Florida Amerika
Serikat, berhasil membuktikan hanya
dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat
Alquran, seorang Muslim, baik mereka
yang berbahasa Arab maupun bukan,
dapat merasakan perubahan fisiologis yang
sangat besar.
Al-Quran memberikan pengaruh
besar jika diperdengarkan kepada bayi.
Hal tersebut diungkapkan Dr. Nurhayati
Perbedaan Efektifitas Terapi Musik Klasik ...
GASTER Vol. 9 No. 2 Agustus 2012
dikutip dalam Gusmiran (2005) yang
menurut penelitiannya, bayi yang berusia
48 jam yang kepadanya diperdengarkan
ayat-ayat Alquran dari tape recorder
menunjukkan respons tersenyum dan
menjadi lebih tenang.
Sungguh suatu kebahagiaan dan
merupakan kenikmatan yang besar,
kita memiliki Alquran. Selain menjadi
ibadah dalam membacanya, bacaannya
memberikan pengaruh besar bagi
kehidupan jasmani dan rohani kita.
Jika mendengarkan musik klasik dapat
memengaruhi kecerdasan intelektual (IQ)
dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang,
bacaan Alquran lebih dari itu. Selain
memengaruhi IQ dan EQ, bacaan Alquran
memengaruhi kecerdasan spiritual (SQ).
Penelitian ini juga diperkuat oleh
penelitian Rauscher et al dari universitas
California tahun 1995 dan Wilson et al
pada tahun 1997 dalam buku campbel
(2001a) berhasil mendapatkan efek
mozzart yang hanya menunjukkan
peningkatan kemampuan spasial-temporal.
Sampai saat ini, belum ada bukti yang
menunjukkan bahwa mozzart dapat
meningkatkan kecerdasan IQ seseorang.
Mahabenar Allah yang telah berfirman:
Artinya:
“Ingatlah, hanya dengan berdzikir
kepada Allah-lah hati menjadi tentram”
(Qur’an).
Artinya:
“Dan Kami telah menurunkan dari Alquran,
suatu yang menjadi penawar (obat) dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan
Alquran itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian”
(Qur’an).
Artinya:
“Dan apabila dibacakan Alquran, simaklah
dengan baik dan perhatikanlah dengan
tenang agar kamu mendapat rahmat”
(Qur’an).
Perbedaan Efektifitas Terapi Musik Klasik ... 79
GASTER Vol. 9 No. 2 Agustus 2012
Hasil diatas sesuai dengan pendapat
Veskarisyanti (2008) mengungkapkan
bahwa musik dapat mempengaruhi
perkembangan anak autis baik dalam
fungsi kognitif, psikologis, fisik, perilaku
dan sosial. Terapi musik klasik terbukti
meningkatkan fungsi otak dan intelektual
manusia secara optimal. Kedua musik
tersebut memiliki pengaruh terhadap
perkembangan memori anak terutama anak
dengan gangguan perkembangan pervasive
atau yang lebih dikenal dengan autis.
E. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasi l peneli tian dan
pembahsan yang telah diuraikan sebelumnya,
dapat disimpulkan sebagai berikut :
Yang pertama ada perbedaan yang
signifikan sebelum dan sesudah perlakuan
terapi musik klasik terhadap perkembangan
kognitif anak autis.
Yang kedua ada perbedaan yang signifikan
sebelum dan sesudah perlakuan terapi musik
murotal terhadap perkembangan kognitif anak
autis.
Yang ketiga ada perbedaan yang signifikan
antara terapi musik klasik dan terapi musik
murotal terhadap perkembangan kognitif anak
autis dan terapi musik murotal lebih efektif
dibandingkan dengan terapi musik klasik.
Hasil penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan, penulis berharap peneliti
selanjutnya mampu melakukan penelitian
yang lebih baik dengan melibatkan variabel
yang lebih banyak dan waktu yang jauh lebih
lama.
80 Perbedaan Efektifitas Terapi Musik Klasik ...
GASTER Vol. 9 No. 2 Agustus 2012
DAFTAR PUSTAKA
Aulia N A., Wignjosoebroto S., Sudiarno A. 2010. Aplikasi ergonomi mengenai evaluasi terapi
musik bagi perkembangan kognitif anak autis. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Surabaya : 1-10
Campbell D. 2001a. Efek Mozart Bagi Anak, Meningkatkan Daya Piker Kesehatan Dan Kreatifitas
Anak Melalui Musik penerjemah Alex Tri Kantjono Widodo, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama
Campbell D. 2001b. Efek Mozart: Musik Memanfaatkan Kekuatan Musik Untuk Mempertajam
Pikiran, Mengaktifkan Kreatifitas Dan Menyehatkan Tubuh penerjemah Hermaya, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Gusmiran. 2005. Ruqyah Terapi Religi Sesuai Sunnah Rosullullah SAW . Jakarta : Pustaka
Marwa
Mangunsong F. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Edisi 2009. Jilid
I. Jakarta: LPSP3 UI
Nevid J S., Spencer A R., Beverly G. (2003). Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid II. Jakarta:
Erlangga
Novia. 2007. Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan bagi Penyandang
Autisme. [Skripsi]. Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya. Universitas
Islam Indonesia
Tohaputra A. 2001. Al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI. Semarang: CV.Asy
Syifa’
Sa’dulloh. 2008. Sembilan Cara Cepat Menghafal Al-Quran. Jakarta : Gema Insani
Safaria T. 2005. Autisme: Pemahaman Baru Utuk Hidup Bermakna Bagi Orang Tua. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Veskarisyanti G A. 2008. 12 Terapi Autis Paling Efektif & Hemat. Yogyakarta: Pustaka
Anggrek
Perbedaan Efektifitas Terapi Musik Klasik ... 81